Chapter 27

20 2 0
                                    

«Melepaskan sebuah kenyataan memang tak mudah, namun aku harus merelakannya.»

←♡→

"Abang, Abang yakin? Apa ini keputusan yang tepat?"

"Maaf, Abi, Ummy, ini adalah pilihan Fahri. Fahri ingin pergi ke Kairo dan akan kembali setelah menyelesaikan tiga tahun studi di sana."

"Tapi, Bang. Kalau Abang pergi, Ummy sama siapa?"

"Ummy, Fahri tidak akan menjauh dari Ummy. Fahri hanya ingin melupakan semuanya dan akan kembali pada waktunya."

Memori tiga tahunan yang lalu, berputar begitu saja dalam benaknya. Sudah empat tahun semenjak kepergian Khaila dan sudah empat tahun pula ia terlihat begitu berbeda. Sosok pemuda yang tidak terlalu mementingkan ego, namun kini malah memprioritaskan setiap keinginannya.

"Sampai detik ini, kau tak membiarkan rasa ini hilang, kenapa? Apa kau kembali waktu itu? Tapi, kurasa tidak. Karena kepergianmu bukan untuk sementara, melainkan selamanya." Setelah berucap seperti itu, ia pun mulai menggeret kopernya keluar dari dalam kamarnya itu.

Hari ini, ia akan kembali ke Indonesia. Namun, bukan ke kota yang dulu pernah terukir sebuah kenangan, melainkan ke kota di mana ia akan memulai profesinya, Pesantren Nurul Sya' Ban. Pesantren milik kakeknya yang ada di Jakarta, namun saat ini pesantren itu sudah dikelola oleh pamannya Fahri, adik dari Abinya sebab kakeknya Fahri itu sudah meninggal beberapa tahun yang lalu.

Setelah sampai di depan apartementnya, ia langsung saja memasukkan kopernya ke dalam sebuah taxi yang sebelumnya telah ia pesan. Lalu, ia pun memasuki taxi itu dan menyuruh supir untuk segera mengantarkannya ke bandara.

...

"Kak Diah, Kak Diah kapan mau ujian akhir?"

"Insya Allah, bulan depan Dek, kata bu Nyai."

"Weh ... kalau gitu, Kak Diah bakalan mulai sibuk, dong?"

"Mungkin,"

"Loh, kok mungkin? Memangnya Kak Diah gak mau belajar apa?"

"Alhamdulillah, tinggal ngulang materi aja, Dek."

"Ooh ... kalau gitu mah enak. Apalagi, tipe-tipe orang kaya Kak Diah yang mudah menghafal ini."

"Hahaha ... aku juga pernah lupa kali, Dek."

"Ya kan, sesekali, Kak."

Gadis berhijab biru itu hanya mampu menggelengkan kepalanya, seraya terus melanjutkan kegiatan memberesi kamarnya.

Tok ... tok ... tok ...

"Assalamu'alaikum,"

"Wa'alaikumussalam warahmatullah"

"Dari mana toh, Na?" tanya gadis yang berhijab hitam dan memiliki paras yang sama seperti gadis yang baru saja masuk itu, Syefa.

"Syefa, Abang mau ke sini," ucap gadis yang bernama Syena dengan begitu antusiasnya.

"Eh, kamu teh punya Abang, Na?" Bukan Syefa yang nanya, tapi gadis berhijab biru, Diah.

"Hehehe ... iya Kak, Syena dan Syefa teh, punya Abang. Namanya Bang Fahri," jelas Syena.

Deg.

"Fahri?" lirih gadis itu di dalam hati. Bukan apa, namun nama itu mengingatkan ia pada hatinya. Hatinya yang telah lama berusaha untuk ikhlas dan pergi untuk meninggalkan semuanya.

"Kak, Kak Diah kenapa?" tanya Syefa terlihat khawatir.

"Eh, gak pa-pa. Oh, yaudah, persiapan untuk penyambutannya udah dibuatkah, Dek?" tanya Diah berusaha melupakan semuanya.

"Astaghfirullah, tuh kan, aku lupa. Aduh, gimana ni Kak? Padahal, Bang Fahri bakalan nyampe satu jam lagi."

"Apa?!" ucap kedua gadis berbeda umur itu dengan serentak.

"Yaa Allah, Syena. Mangkanya, lain kali kalau ada informasi langsung kasih kabar, jangan nunggu waktunya mepet dulu." Diah menggelengkan kepalanya tak suka. Lalu, tanpa peduli akan respon yang Syena berikan lagi, Diah langsunag saja keluar dari kamar mereka dan menuju entah ke mana.

"Kak Diah mau ke mana?!" tanya Syefa seraya berteriak.

"Ngurusin semuanya," jawab Diah tanpa memberhentikan langkahnya dan terus saja berlalu dari gadis kembar itu.

"Huh ... mangkanya Na, lain kali kalau di kasih tau itu jangan ngeyel mulu." Syefa pun ikut berlalu dari sana dan menyusul Diah.

"Lah, kok salah aku? Kan Abi Hafidz teh baru ngasih kabar?" monolognya seraya merasa jengkel. Lalu, dengan menghentakkan kakinya, akhirnya Syena memutuskan untuk menyusul kembaran dan gadis yang sudah seperti kakak sendiri baginya.

Sedangkan, di sisi lain. Saat ini, Fahri yang baru saja keluar dari bandara, langsung saja di jemput oleh Adzam dan Syahwa. Kini, mereka berdua telah menerbitkan sebuah senyuman hangat untuk Sang Putra.

"Assalamu'alaikum, Ummy, Abi." Fahri mencium punggung tangan kedua orang tuanya.

"Wa'alaikumussalam."

"Masya Allah, anak Ummy," jerit Syahwa terlihat begitu bahagia.

Fahri tersenyum. "Ummy dan Abi apa kabar? Ummy dan Abi baik-baik saja, kan?"

"Alhamdulillah, ummy dan Abi sehat, Bang." Adzam menepuk lembut bahu putranya.

"Alhamdulillah."

"Yaudah, My, Bi, kita pulang sekarang, yuk!" ajaknya seraya mulai menggeret kembali koper yang sejak tadi ia bawa. Syahwa dan Adzam pun menganggukkan kepalanya, lalu mulai melangkahkan kakinya menuju mobil putih milik Adzam.

...

"Benar Bu Nyai, kalau keponakannya Bu Nyai teh gausah diadain acara penyambutan?" tanya Diah terlihat gusar.

"Gak pa-pa, toh ini juga permintaannya Fahri," jawab wanita paruh baya itu dengan senyuman yang merekah—sebut saja namanya Laura.

"Ta-"

"Udah, mending kamu sekarang balik ke asrama, trus belajar, kan udah mau ujian."

"Hm ... Ya sudah Bu Nyai, kalau gitu Diah balik ke asrama dulu, ya. Assalamu'alaikum," Setelah itu, Diah pun beranjak dari posisinya dan berlalu dari hadapan Laura.

Dengan langkah santainya, Diah pun menuju asramanya. Namun, belum sempat gadis itu sampai di asramanya, seseorang sudah terlebih dahulu memanggilnya.

"Pst ...," panggil seorang santriwan yang berada di balik pagar besi itu.

Dan Diah yang merasa terpanggil itupun seketika langsung membalikkan badannya ke belakang, lalu menatap ke arah sumber suara.

"Diah!" panggil santriwan itu dengan kesalnya.

"Kenapa?" tanya Diah dengan heran, namun tak pernah beranjak dari posisinya.

"Nanti sore, ketemuan di kedai Mbah Gino, yuk!" ucap santriwan itu.

"Hm ... enggak," putus Diah dengan cepat.

"Loh, kenapa?" tanyanya.

"Kita bukan mahram. Saya harap, anta jangan ganggu saya lagi, paham!" Setelah mengatakan itu, Diah pun kembali melanjutkan langkahnya menuju asrama. Hanya ada rasa kesal di dalam hatinya saat ini. Mengapa dia harus dipertemukan lagi dengan santriwan yang mengesalkan itu. Padahal, ia sudah berusaha untuk selalu menghindar, tapi? Huft ... sudahlah.

Bugh!

"Astaghfirullah," sentak Diah yang terkejut. Sedangkan, pria yang barusan ia tabrak tadi, kini malah memejamkan matanya seraya beristighfar berulang kali.

Deg.

"Fahri?" lirihnya di dalam hati.

Damaiku Bersama ISLAM (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang