Chapter 20

33 4 0
                                    

«Buka matamu dan tanyakan pada dirimu, kapan semuanya akan mulai berubah?»

←♡→

Seperti biasa, waktu akan terus berputar tiada henti. Dengan mata yang terus terpejam, wajah cantik itu selalu saja terlihat pucat. Semenjak operasi semalam, Khaila memang belum membuka matanya sekalipun. Dan tentunya, itu sangat membuat keluarganya khawatir. Namun, dokter selalu berkata pada mereka, jika itu wajar terjadi, karena otak Khaila yang tengah berproses setelah operasi.

"Mi, Diah kapan bangunnya?" tanya Zefaldo seraya merangkul ibunya yang tengah terduduk di hadapan Khaila.

"Mami tidak tau, Bang. Tapi, Mami sangat berharap, jika Diah akan cepat-cepat bangun."

Ceklek.

"Mi, Bang, ada Fahri dan Irsyad, nih." ujar Ziro memasuki ruangan rawat putrinya.

"Eh, Nak Fahri dan Nak Irsyad?" ucap Crista membalikkan badannya. Fahri dan Irsyad pun tersenyum ke arah mereka berdua—Crista dan Zefaldo.

"Mari duduk, Nak!" ajak Crista menuntun Fahri dan Irsyad ke arah sofa. Dan akhirnya, kedua pemuda itupun langsung mengikuti Crista dan menduduki dirinya di sana.

"Bagaimana keadaan Khaila, Tan?" tanya Fahri.

"Ya, begitulah. Semenjak operasi semalam, dia belum membuka matanya hingga saat ini" jelas Crista seraya menatap putrinya yang tengah terbaring itu dengan sendu.

"Lalu, apa dokter tidak menjelaskan sesuatu, Tan?"

"Dokter hanya bilang pada kami, jika itu adalah efek samping dari operasi itu. Jadi, kita harus bisa menunggu sampai otak Diah berfungsi dengan baik kembali."

Fahri dan Irsyad yang mendengarkan itupun hanya bisa menganggukkan kepala mereka, seraya terus menatap sedih ke arah gadis itu.

"Ri, terakhir Khaila minta sama gue, agar saat lo berkunjung ke sini lo ngelantunin suara indah yang sering dia dengar dari rumah." ucap Zefaldo membuka suaranya seraya mendudukkan dirinya di samping Fahri.

Mendengar hal itu, Fahri sontak langsung menatap Irsyad. Dan begitu sebaliknya dengan Irsyad yang juga tengah menatapnya. Jujur saja, sebenarnya dia mengingat hal itu, bagaimana Khaila juga memintanya untuk membacakan kitab suci al-Qur'an. Namun, saat ini Fahri merasa tidak yakin akan hal itu, sebab di sini tak hanya Khaila yang akan mendengarkan lantunan ayat sucinya, melainkan keluarga kecil Khaila.

"Bacakan saja, Nak!" Akhirnya, Crista pun membuka suaranya, tatkala matanya menangkap perasaan khawatir dalam rawut wajah Fahri. Fahri dan Irsyad yang mendengarnya langsung saja mengalihkan pandangan mereka ke arah Crista. Crista tersenyum meyakinkan.

"Baiklah," putusnya yang langsung bangkit dari duduknya dan mengambil sebuah al-Qur'an dari dalam tasnya. Fahri pun mulai berjalan ke arah brankar Khaila dan menduduki dirinya di kursi yang berada di samping brankar gadis itu.

Membuka lembaran kitab suci tersebut, lalu menarik napasnya dengan perlahan dan membuangnya.

Lantunan indah itupun ia mulai dengan ta'awuz dan disambungi oleh bacaan basmalah. Surat al-Anbiya ayat 83-84 yang ia bacakan, begitu terdengar merdu dengan suara indah yang diberikan alunan irama tartil olehnya.

Crista, Zefaldo, dan Ziro benar-benar merasa tersentuh tatkala mereka mendengarkan lantunan indah itu keluar dari mulut seorang Fahri. Suara yang begitu merdu, dan bahkan suara yang mampu menghanyutkan siapapun dalam alunan indahnya. Sedangkan Irsyad, ia hanya mampu tersenyum tipis dengan mendengarkan lantunan indah itu terus keluar dari mulut sosok Fahri.

Menit ke menit terus berubah. Akhirnya, Fahri pun mengakhiri bacaannya dengan membaca shadaqallahul 'adzim.

"Suara lo begitu begitu merdu, Ri. Pantas saja jika Khaila menyuruh lo untuk terus melantunkan itu." ucap Zefaldo seketika dan menghampiri Fahri yang baru saja menciumi al-Qur'an.

"Alhamdulillah, Bang. Tapi, keindahan itu bukan berasal dari suara saya, melainkan dari ayat yang saya lafadzkan tadi."

Ingin sekali Zefaldo berkomentar, namun lidahnya terasa kelu untuk mengeluarkan komentaran itu.

...

Waktu ke waktu kian berlalu. Mata yang selalu terpejam, terlihat begitu nyaman dengan setiap lantunan indah yang hari ke hari selalu dilantunkan.

Telah dua minggu lewat, Khaila tak pernah sadar dari kondisinya saat ini. Hembusan napasnya memang ada, namun semuanya hanyalah hampa. Seolah-olah, gadis itupun tak pernah hadir di setiap waktu yang ada.

Seperti biasanya, sepulang sekolah, Fahri akan selalu menyempatkan dirinya untuk ke rumah sakit, demi memenuhi janjinya kepada gadis itu. Walaupun, terkadang dia hanya bisa datang ke sana sendirian tanpa adanya Irsyad. Apalagi, dua minggu belakangan ini mereka benar-benar disibukkan oleh perlombaan yang mereka ikuti atas nama sekolah.

Setelah selesai memenuhi janjinya pada gadis itu, maka Fahri akan bercerita panjang lebar padanya. Tak peduli, jika Khaila akan mendengarkannya ataupun tidak. Karena baginya, ia hanya ingin gadis itu juga merasakan suasana sekolah yang sudah lama tak dia rasakan.

"Dek, kamu tahu, hari ini begitu banyak kegiatan di SMA Adipurnama. Sehingga, saya selaku ketua osis pun hampir kualahan untuk mengurusi kegiatan itu. Dan kamu tahu, Dek? Besok adalah hari yang begitu menegangkan untuk saya. Di mana, besok adalah hari martabat sekolah akan berada di tangan saya. Jujur, saya sangat ingin kamu menyaksikan penampilan saya dan yang lainnya."

"Dek, apa kamu tidak pernah lelah untuk terus memejamkan matamu seperti ini? Apa itu tidak membuatmu pegal-pegal? Ayolah, kapan kamu akan menatap dunia ini lagi? Dan ... kapan kamu akan melanjutkan perjalananmu dalam menjadi muallaf?" Hanya itu dan itu yang selalu Fahri ulangi ketika dia menjenguk gadis itu.

Ceklek.

"Ri, Abi sama Ummy lo nungguin di depan, noh." Sontak, Fahri pun membalikkan badannya menghadap sumber suara, Zefaldo.

"Eh, iya Bang. Ya udah, kalau gitu Fahri pamit dulu ya, Bang" ucapnya yang langsung saja bangkit dari duduknya.

"Iya, lo hati-hati, ya!" Fahri pun mengangguk, lalu dia berlalu begitu saja dari hadapan Zefaldo dengan seuntas senyuman.

Setelah pemergian Fahri, Zefaldo pun langsung menghampiri Khaila yang masih menutup matanya. Dengan rawut sedih, Zefaldo menggenggam tangan adiknya, lalu menciumnya dengan air matanya yang entah sejak kapan telah berjatuhan.

Tiba-tiba, salah satu jemari dari sosok Khaila bergerak begitu saja. Membuat Zefaldo yang menggenggamnya saat itupun langsung menengadahkan kepalanya menatap sosok Khaila.

Tampak, bagaimana sayup-sayup mata gadis itu mulai terbuka. Setetes air mata pun ikut mengiringi pergerakan matanya. "Bang ...," lirihnya begitu lemah.

Itu adalah kebahagiaan Zefaldo setelah berminggu-minggu menghilang. Sontak, dia langsung bangkit dari duduknya dan memberikan ciuman kebahagiaannya kepada kening Khaila dengan begitu lembutnya.

"Kamu sudah bangun, Dek?" ucapnya begitu bahagia.

"Mi, Pi! Diah sudah bangun!" teriak Zefaldo begitu nyaringnya, lalu berlari dari hadapan Sang Adik, guna memanggil kedua orang tuanya.

Damaiku Bersama ISLAM (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang