Chapter 12

28 5 0
                                    

«Seberapa sulit menyembunyikannya, namun bau bangkai pasti akan selalu tercium.»

←♡→

"Apayang terjadi, Diah? Kenapa bisa seperti ini?"

"Maaf Mi, selama ini Diah sembunyikan ini semua dari kalian."

Deg.

"Selama ini, Diah selalu mimisan. Diah gak mau kalian tau, karena Diah takut kalian akan mengkhawatirkan Diah." jelas Diah seraya menunduk.

"Ya ampun Diah, kenapa kamu harus menyembunyikan hal berhaya seperti ini, ha? Asal kamu tahu, dengan kamu menyembunyikan ini semua dari kami, berarti kamu akan membuat kami semakin khawatir denganmu, Sayang." ucap Ziro terlihat frustasi.

"Maaf, Pi." cicitnya.

"Ya sudahlah, sekarang lebih baik kita makan." putus Crista dengan cepatnya, sebelum Ziro kembali membuka suaranya.

Dan akhirnya, mereka semua pun memutuskan untuk makan siang saat ini. Makan siang hari ini pun berjalan khidmat. Namun, hanya untuk sementara, sebab Khaila tiba-tiba saja kembali mengalami masalah.

"Eh, Khaila, kamu mau ke mana, dek?" tanya Zefaldo dengan heran.

Khaila yang sama sekali tidak bisa membuka suaranya, langsung saja berlari dari meja makan, tanpa peduli bagaimana herannya mereka semua.

"Zefal, coba kamu periksa adekmu!" titah Ziro. Zefal pun mengangguk, lalu berlalu dari hadapan kedua orang tuanya.

Sesampainya di toilet, Zefal pun menghampiri Khaila yang tengah memuntahkan isi perutnya.

"Adek kenapa?" tanya Zefaldo dengan nada khawatirnya. Dengan isyarat tangan, Khaila pun menjawab jika dia baik-baik saja.

"Mami, Papi!" panggil Zefaldo kepada kedua orang tuanya. Sontak, kedua orang tuanya yang tengah menunggu di meja makan itupun langsung berlari ke arah toilet dan menghampiri Zefaldo.

"Diah kenapa, Bang?" tanya Crista khawatir. Zefaldo yang sedang menepuk-nepuk pundak adiknya itupun langsung menatap kedua orang tuanya dengan bingung.

"Diah, kamu kenapa, Sayang?" tanya Ziro menghampiri putrinya.

Khaila yang merasa sudah mendingan, langsung saja membersihkan mulutnya, lalu mengambil tisu yang berada di dekat wastafel itu.

"Perut Diah enggak enak, Pi." jawab Khaila dengan jujur.

"Kamu sakit?" tanya Crista yang terlihat tak kalah khawatir.

"Enggak Mi, mungkin cuma masuk angin."

"Masuk angin gimana, kemarin kamu juga kaya gini." ucap Crista terlihat tidak suka.

"Apa Mi?"

"Iya, Pi. Kemarin sepulang sekolah Diah juga terlihat pucat. Trus, sewaktu makan pun dia juga kaya tadi." jelas Crista.

"Pi, apa sebaiknya Diah kita bawa ke rumah sakit aja? Kasihan dia, Pi. Lihatlah, wajahnya saja sudah pucat begini. Zefal takut, nanti Diah kenapa-napa." ucap Zefaldo begitu khawatir.

"E-enggak Pi, gak usah. Diah baik-baik aja, kok." bantah Khaila dengan sedikit khawatirnya. Jujur, jika boleh Khaila akui, dia memang takut yang namanya rumah sakit. Entah apa penyebabnya, namun dia akan selalu berusaha untuk menghindari datang ke tempat itu.

"Enggak, Papi gak mau terjadi apa-apa sama kamu. Jadi, lebih baik kamu Papi bawa ke rumah sakit. Biar kamu bisa ditangani dokter. Papi takut, nanti putri Papi bakalan kenapa-kenapa, Diah." titah Ziro menasehati.

"Tapi, Pi-"

"Papi tidak mau mendengar bantahan kamu. Pokoknya, besok kita pergi berobat ke rumah sakit." putus Ziro dengan tegasnya. Dan jika sudah seperti ini, apa boleh buat.

...

Lagi-lagi, waktu kian berlalu. Malam telah datang dan kembali digantikan oleh mentari. Pagi ini, Syahwa tengah menyapu teras halaman rumahnya.

"Ummy, Abang berangkat dulu, ya." pamit Fahri seraya mencium punggung tangan Syahwa.

"Eh iya, Nak. Yang rajin belajarnya, sama yang hati-hati mengemudinya. Jangan ngebut, ingat!" nasehatnya seraya mengusap lembut bahu putranya.

"Iya, Insya Allah, Ummy. Assalamu'alaikum,"

"Wa'alaikumussalam,"

Setelah berpamitan, akhirnya Fahri pun memasuki mobilnya yang sudah berada di luar bagasi. Langsung saja dia melajukan mobil hitamnya itu, menuju SMA Adipurnama.

"Ternyata, kamu sudah besar ya, Ri. Gak kerasa, perasaan dulu kamu masih Ummy pangku-pangku di teras ini sambil berjemur. Tapi, sekarang kamu udah bisa bawa mobil sendiri dan sudah sebesar ini." batin Syahwa di dalam hatinya. Dia pun tersenyum, lalu melanjutkan menyapunya dengan bersholawat kecil.

Tiba-tiba, di saat menyapu, mobil milik Ziro pun datang, lebih tepatnya berhenti di halaman rumahnya sendiri.

"Eh, Crista!" sapa Syahwa dengan ramah, di saat Crista keluar dari mobilnya itu.

"Eh, Syahwa. Bersih-bersih, Syah?" tanya Crista.

"Iya, nih. Kamu sendiri gimana? Kok tumben pagi-pagi udah keluar?"

"Ooo ... ini, tadi dari rumah sakit."

"Lah, siapa yang sakit toh, Cris?"

"Putriku Khaila, Syah."

"Innalillah, kok bisa?"

"Iya Syah, semalam putriku muntah-muntah terus dan sudah beberapa kali juga dia mimisan. Dan karena semakin khawatir, akhirnya kami bawa dia ke rumah sakit tadi malam. Dan rupanya, setiba di sana putriku langsung dibawa ke UGD."

"Trus, sekarang gimana keadaannya?" tanya Syahwa yang terlihat sedikit khawatir akan kabar itu.

"Sekarang syukurnya sudah mendingan. Dan udah dipindahin ke ruang rawat inap juga."

"Ooh ... Alhamdulillah."

"Iya, Syah. Oh ya, aku duluan ya, soalnya mau balik ke rumah sakit lagi."

"Ya sudah, semoga cepat sembuh ya, si Khaila-nya."

"Iya, makasih, Cris." Setelah itu, Crista pun masuk ke rumahnya dan begitu juga dengan Syahwa yang telah usai dengan pekerjaanya. Dia pun memasuki rumahnya, lalu menlanjuti diri dengan melakukan aktivitas lainnya.

Damaiku Bersama ISLAM (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang