Chapter 13

26 5 0
                                    

«Mimpi terburukku adalah berada di posisi seperti ini dengan dipenuhi rasa takut yang kian bertambah setiap waktu.»

←♡→

Di ruangan yang serba putih, serta bau obat-obatan yang begitu menyeruak ke dalam hidung, seorang gadis tengah terbaring lemah di atas brankarnya dengan selang infus yang tertempel pada punggung tangannya. Seperti biasa, Khaila akan terlihat begitu pucat. Bahkan, tak hanya pucat, melainkan terlihat begitu lemah.

Ceklek

"Mami," lirihnya menatap kehadiran Crista dari balik pintu itu.

"Eh, kamu sudah bangun, Nak?" ucap Crista seraya meletakkan tas bawaannya di lantai, samping brankar Khaila.

"Papi?" tanya Khaila dengan melirih.

"Papi kamu lagi nemuin dokter," jawab Crista seraya menatap putrinya dengan sendu.

Khaila yang melihat tatapan sedih itupun merasa bersalah. Jujur, dia tak pernah ingin melihat orang tuanya sesedih seperti ini.

"Mami," panggilnya, seraya meraih tangan Crista untuk dia genggam.

"Kenapa, Sayang?"

"Maafin Diah," ucapnya seraya mencium punggung tangan ibunda.

Crista yang mendapatkan perlakuan itu dari anaknya pun sontak langsung mengelus kepala Khaila. Lalu, menganggukkan kepalanya seraya tersenyum pilu.

"Permisi!" ucap seorang suster yang tiba-tiba saja memasuki ruangan rawat Khaila bersama dengan seorang dokter dan dua orang suster lainnya, serta diikuti oleh Ziro dan Zefaldo di belakangnya.

"Adek, kita ambil sample darah dulu, ya." ucap salah satu suster lainnya yang membawa troli peralatan medis.

Khaila pun mengangguk takut. Crista yang seakan tahu akan ketakutan putrinya pun langsung saja menggenggam erat tangan putrinya, seraya mengelus lembut kepala putrinya.

Para suster itupun mulai melaksanakan tugas mereka masing-masing. Dan dokter mulai menyuntik Khaila guna mengambil darahnya. Setelah suntikkan itu terisi, dokter itupun mencabutnya dari tangan Khaila dan memindahkannya pada sebuah botol kecil tempat penyimpanan darah (vacuum tube).

"Kapan hasilnya akan keluar, Dok?" tanya Ziro memecah keheningan.

"Kalau bisa, mungkin nanti siang, Pak. Atau paling lambat besok," jawab dokter itu.

"Oh ... baiklah," timpal Ziro.

"Adek banyakin istirahat ya, jangan banyak gerak dulu. Dan oh iya, kemungkinan kita akan tranfusi darahnya nanti siang ya, Pak, Buk." ujar suster tadi.

"Baik, Sus"

"Ya sudah, kalau gitu kami permisi dulu." Setelah berpamitan, dokter dan para suster itupun meninggalkan ruangan rawat Khaila.

Tak terasa, lagi-lagi air mata Khaila mengalir begitu saja. Dia benar-benar takut. Takut jika waktunya tak akan lama lagi untuk di sini.

"Hei, adek Abang kenapa nangis?" tanya Zefaldo yang menyadari air mata adiknya itu.

"Eh, Sayang, kenapa?" tanya Crista dan Ziro khawatir.

"Di-diah, takut ...," lirihnya seraya menutup kedua matanya.

"Hei, Sayang, dengerin Mami. Diah anak Mami, berarti Diah itu kuat. Apapun yang terjadi, Diah harus tetap semangat dan Diah harus bertahan demi Mami dan semuanya." ujar Crista berusaha untuk menahan air matanya agar tidak keluar.

"Iya, Papi yakin, anak Papi pasti kuat. Kamu jangan pernah nyerah, karena di sini Papi, mami, dan abang kamu akan selalu setia menemani Diah sampai kapanpun." timpal Ziro.

"Abang yakin, Adek pasti bisa."

Bukannya menjadi tenang, namun Khaila kembali meneteskan air matanya dengan pilu. Jujur, dia tak tahan mendengarkan setiap perkataan keluarganya yang berharap besar pada dirinya, sedangkan dia sendiri merasa tidak percaya dan yakin akan semua itu.

...

Pria beralmamater osis itu tengah berjalan menyusuri lorong demi lorong sekolahnya ini. Waktu silih berganti, hingga langkahnya pun sampai di depan ruangannya yang bertuliskan ruangan osis.

"Fa, gue dengar anak baru itu gak masuk, ya?"

"Hm ... iya,"

"Lah, baru aja sekolah beberapa hari, kok malah libur? Ketahuan deh, kalau dia tu memang gak pernah ada niatan buat sekolah,"

"Katanya sih, dia sakit. Tapi, entah itu memang benar atau tidak, gue gak tau."

Fahri yang mendengarkan itu semua di ambang pintu pun langsung beranjak dari sana dan memasuki ruangan itu dengan membaca salam. Mendengar salam dari orang yang mereka tunggu-tunggu, mereka semua langsung saja terdiam seraya menjawab salam pria itu.

"Sudah hadir semuanya?" tanyanya begitu dingin.

"Sudah, Kak." jawab semuanya serentak.

"Baiklah, kita langsung saja. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,"

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,"

Dan rapat osis pada hari itupun berjalan dengan lancar. Hingga pada akhirnya, waktu dzuhur pun hadir dan mengharuskan mereka untuk menyelesaikan rapat itu.

"Baiklah, mungkin itu saja dulu. Terima kasih karena kalian sudah hadir. Insya Allah, di kesempatan lain kita akan bertemu lagi. Afwan wasyukran 'ala iftima mikum, Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh," ucapnya mengakhiri.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh." Dan akhirnya, mereke semua pun meninggalkan ruangan osis tersebut.

"Refa," panggil Fahri secara tiba-tiba pada gadis yang bersiap akan keluar dari ruangan itu.

"Iya, kenapa?" tanya Refa.

"Lo teman sekelasnya Khaila, bukan?" tanya Fahri dengan ragu.

"Ya, ada apa?"

"Hm ... gue dengar dia gak masuk, ya?"

"Iya, katanya dia sakit."

"Ooh ... gitu, oke makasih." Setelah itu, Fahri pun berlalu dari hadapan siswi yang bernama Refa tersebut. Hingga meninggalkan berbagai pertanyaan di dalam kepala gadis itu.

"Huh ... sudahlah," ucapnya tak peduli, dan berlalu dari sana dengan begitu saja.

Damaiku Bersama ISLAM (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang