Chapter 2

57 11 0
                                    

«Kita jelas berbeda, lalu apa salahnya bila aku berada di tempat yang berbeda, jika itu adalah keyakinanku?»

←♡→

Kring!!!

Waktu istirahat pun telah datang. Semua siswa dan siswi pun langsung berhamburan dari kelas mereka masing-masing. Namun, tidak untuk Khaila yang masih saja berada di dalam kelasnya.

Khaila menatap sekitarnya. Dia bisa melihat seperti apa asyiknya memiliki teman yang sudah di kenal. Namun, apalah dayanya yang hanya bisa menyaksikan itu semua. Sedangkan, dia hanya anak baru yang belum memiliki teman satupun.

Mungkin karena bosan, akhirnya Khaila mengeluarkan gawainya. Entah apa yang dilakukannya, namun seuntai senyuman terbit di sana.

Ciwi-ciwi Cancip🐣

Natasya🔪
Uwa ... emakku dah pergi😭

Geora🙈
Hooh, nenekku pun dah pergi😖

Clarissa💩
Ish, si Lala kebiasaan, pergi gak pernah ngabarin.
Kamu tau gak, rasanya tu ...
Sakit ... banget!!!

Hei, kalian!
Baikkan di sana?

Natasya🔪
:( bertolak belakang dengan perkiraanmu

Clarissa💩
:D karena hadir tanpamu, dunia terasa sepi.

Geora🙈
^_^ Tak ada tawa dan tak ada canda darimu.
Andai kau tau,
Di sini aku sendirian.

Haish ... kalian ini
Sudahlah, air mata ini sedang tak ingin keluar
Jadi, kumohon
Jangan buat aku menangis!

Setelah mengetikan itu, Khaila pun mematikan gawainya, lalu memilih untuk bangkit dari posisinya ini, guna menuju sebuah kantin.

Dia hanya mampu berjalan ke kantin dalam kesendiriannya. Terlalu banyak pasang mata yang menatap aneh ke arahnya, hingga bisikan-bisikan dari dari mereka semua terdengar begitu jelas olehnya.

"Eh, itu siswi baru?"

"Masya Allah, cantik, ya?"

"Eh, kok pakaiannya kaya gitu, Neng?"

"Iya-iya,"

"Bidadari gue itumah,"

"Eleh, PD amat lo."

"Yaa Allah, zina mata, woi!"

"Astaghfirullah, pakaiannya!"

"Maka, nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan?"

"Kok bisa ya, sekolah kita nerima murid kaya dia?"

"Udahlah, kalian gak tahu kebenarannya. Jadi, lebih baik diam daripada fitnah."

Khaila pun tersenyum mendengarkan perkataan siswi itu. Namun, sayangnya senyuman itu hanya tipis, sehingga tak ada yang bisa melihatnya.

Bugh!

"Aw!"

"Astaghfirullah!"

Tiba-tiba, di saat Khaila baru saja memasuki kantin, seorang siswa telah dahulu menabraknya. Hingga membuat Khaila pun terjatuh. Sedangkan, siswa yang baru saja menabraknya tanpa sengaja itu, seketika mengalihkan pandangannya. Di saat dia melihat surai panjang gadis itu dan pahanya yang sedikit tersingkap.

"Astaghfirullah," lirihnya lagi.

"Eh, Ri!" panggil siswa lainnya yang menghampiri dirinya.

"Astaghfirullah, apa-apaan ini?" tanyanya yang langsung saja mengalihkan pandangan dari Khaila yang masih saja mengaduh kesakitan itu.

"Eh, Neng! Itu roknya gak ada yang lebih singkat lagi apa? Eh, lebih panjang lagi apa?" tanya siswa yang bernama Irsyad itu seraya masih mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Jaga etika bicara, Syad!" peringat Fahri seraya menatap Irsyad dengan datar.

"Iya, maaf deh." ngalahnya.

Sedangkan, Khaila yang saat ini tengah mengaduh kesakitan itu hanya mampu menatap tajam kedua siswa itu tanpa ingin mendengarkan perkataan mereka berdua. Bukannya membantu, tapi mereka malah bercek-cok di hadapan dirinya yang tengah mengaduh kesakitan.

Tanpa mempedulikan mereka berdua lagi, Khaila pun langsung bangkit dari posisinya dan berlalu dari hadapan kedua pria itu dengan begitu saja.

"Yasudah, gu-" ucapan Fahri pun terpotong di saat dia berniat akan menangkupkan kedua telapak tangannya ke arah di mana Khaila terduduk tadi. Namun, karena tidak mendapatkan kehadiran Khaila lagi, Fahri pun menjadi memberhentikan perkataannya, seraya menatap aneh ke arah Irsyad. Sedangkan, Irsyad yang ditatap itupun hanya mampu tertawa dengan cekekikan.

Lalu, tanpa mempedulikan tertawaan Irsyad, Fahri pun langsung melanjutkan langkahnya dan meninggalkan Irsyad di sana dengan para kaum hawa yang tak habis-habisnya untuk selalu berteriak histeris pada mereka.

Fahri pun berlalu ke arah kelasnya. Dan tiba di saat dia telah memasuki kelasnya, Fahri malah dihadiahi oleh sebatang cokelat di atas mejanya. Membuat siswa itupun merasa kebingungan. Namun, selang untuk detik berikutnya, Fahri pun bisa menduga, itu pasti dari salah satu cewek itu lagi.

"Huh ... lo jahat amat, sih. Masa gue yang gantengnya Masya Allah ini lo tinggalin bersama para ciwi-ciwi alay itu?" keluh Irsyad saat tiba di samping siswa itu.

Fahri hanya mampu memutar bola matanya dengan malas, seraya menyodorkan cokelat itu kepada Irsyad. "Nih, buat lo."

"Eh, lo dapat cokelat lagi?" tanyanya seraya mengambil alih cokelat itu.

"Seperti biasa,"

"Huft ... kasihan mereka. Andai mereka tau, jika lo gak pernah suka cokelat. Mungkin, mereka gak akan pernah lagi ngasihin lo kaya beginian. Hanya deheman yang ia tampilkan, tanpa berniat akan memperpanjang masalah lagi.

Waktu pun kian berlalu. Namun, tidak untuk rasa kesal pada hati Khaila. Gadis manis bermata boneka itu terus saja menggerutu tidak suka dengan kejadian di kantin tadi. Bahkan, saat ink kakinya itupun telah melangkah keluar dari pekarangan sekolah. Menghampiri mobil hitam yang merupakan mobil ayahnya.

"Siang, Pi" sapa gadis itu pada ayahnya yang bernama Ziro.

"Siang, Sayang."

"Bagaimana, sekolah barunya asik?" tanya Ziro seraya mulai melajukan mobilnya.

"Tidak seperti yang diduga,"

"Loh, kenapa?"

"Sangat menyebalkan,"

Ziro yang mendengar itupun hanya tersenyum tipis menatap wajah putrinya yang terlihat begitu menggemaskan itu.

"Lambat laun, semuanya pasti akan terbiasa, Diah."

Damaiku Bersama ISLAM (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang