Chapter 34

28 2 0
                                    

«Kau tidak pernah tahu bagaimana perasaanku, tapi kau selalu mengingat seperti apa diriku, bukan?»

←♡→

Seperti biasa, waktu tak akan pernah berhenti. Ia akan terus berputar, menggantikan hari demi hari, dan menunjukkan semua sisi buruknya. Hari ini, Khaila sudah kembali ke pondok pesantren Nurul Sya' Ban. Dengan hati yang sedikit tak rela ia harus kembali ke sini. Bukan. Bukan soal harus bertemu dengan pemuda itu, tapi ia harus berpisah kembali dengan Sang Ibunda dan Sang Ayahanda.

"Kak, Kak Diah baik-baik aja, kan?" Syena benar-benar merasa khawatir dengan gadis ini. Bagaimana tidak khawatir, sejak pagi Khaila sama sekali terlihat tidak bersemangat. Jadi, wajar saja bukan, jika ia harus mengkhawatirkan Khaila? Lalu, bagaimana dengan Syefa? Pagi ini, Syefa memang sudah tidak ada di asramanya, dan entah apa yang gadis itu tengah lakukan saat ini di tempat yang tidak diketahui oleh mereka.

"Hm ...." Tak ada jawaban yang lain selain dari itu.

"Kak, Kakak teh kenapa? Sejak tadi aku nanya, tapi Kakak selalu jawab, 'hm'. Kenapa sih, Kak?" kesal Syena.

"Astaghfirullah! Na, ini jam berapa?" tanya Khaila yang seketika mengalihkan pembicaraan mereka.

"Udah jam sepuluh lewat lima belas," jawabnya dengan kesal.

"Ha? Astaghfirullah!" Khaila bangkit dari duduknya, lalu berlalu begitu saja dari hadapan Syena.

"Eh, Kak Diah mau ke mana?" tanya Syena seraya sedikit berteriak kepada kakak tingkatnya itu.

"Ada urusan," jawabnya yang terus berjalan dengan sedikit tergesa-gesa.

Entah apa yang mengejarnya, namun Khaila memang terlihat seperti terburu-buru, seperti takut untuk kehilangan sesuatu. Ia terus berjalan terburu-buru, hingga akhirnya sampai di gerbang pembatas antara wilayah santriwan dan santriwati. Dengan sedikit clingak-clinguk ke kiri dan kanan, guna memastikan keadaan sekitarnya, Khaila pun semakin mendekati gerbang itu.

"Akhirnya, lo datang juga ke sini."

"Saya ke sini bukan karena kamu, tapi saya ke sini karena ingin meminta bantuanmu."

"Bantuan? Lo yakin, mau minta bantuan sama gue?"

"Ayub, saya cuma minta bantuan, gak lebih. Paham?" ujarnya dengan sedikit kesal.

"Ha ... Lo mau gue bantu, kan? Berarti lo harus jadi pacar gue," ucap santriwan itu dengan sekenanya saja. Namanya adalah Ayubi Al Ansari, santriwan yang selalu mengusik hidup Khaila tiada habisnya. Dan tentunya hal itu sangat membuat Khaila kesal, bahkan hampir saja tangannya ingin terangkat dan mengepal ke udara.

"Ga-"

"Ekhem." Sontak kedua santri itu langsung menolehkan kepalanya pada sumber suara.

"Fahri?"

"Gus?"

Mereka berdua pun terpelonjak kaget dan ternganga tidak percaya.

"Sedang apa kalian di sini? Kalian tau, apa yang kalian lakukan ini sudah melanggar aturan pondok ini?" ucap Fahri dengan nada suara tegasnya, yang mampu menambah kesan berwibawanya sosok Fahri Sutan Sati.

"Ta-tapi Gus, sa-saya tidak ngelakuin apapun," elak Ayub dengan wajah yang mulai ketakutan.

"I-i-"

"Tidak ngelakuin apapun? Lalu, mengapa kalian di sini?" Lagi-lagi, suara begitu tegas, membuat nyali kedua santri itu semakin menciut.

"A-anu Gus," jawab Ayub yang terus berusaha mencari alasan.

"Anu apa?"

"Maaf, Diah, gue terpaksa harus menyalahkan lo," ucapnya membatin.

Damaiku Bersama ISLAM (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang