𝓣𝓪𝓱𝓪𝓹 5: 𝓜𝓪𝓵𝓪𝓶 𝓜𝓲𝓷𝓰𝓰𝓾

17 7 2
                                    


Tahap 5: Malam Minggu

Sindy C. Vidya

[20.00]

Rumah Hellio Ibunya Kembar Neraka

"Kau yakin ini bakal berhasil?" tanya Hellio memastikan, memberi surat izinnya ke Hellia.

"Kita sudah membicarakan rencana tadi di kereta," jawab Hellia. "Akan kulakukan sebaik mungkin. Kamu tunggu di luar, oke?"

Hellio memejamkan mata, menghembuskan napas lalu membukanya. "Baiklah. Semoga berhasil."

Abrus sudah berbaur dengan bayangan di teras yang remang. Hellia berjalan mantap, derap langkah sepatu boots kulit terdengar di jalan setapak diantara taman indah. Hellia mengetuk pintu kayu.

Tok, tok, tok.

"Mama, Mama di dalam?"

"Lia, itukah dirimu? Masuklah, Nak!"

Hellia membuka pintu, Abrus mengikuti—dan bersembunyi di pojokan seperti kemarin. Keluar wanita yang hanya Abrus ketahui suaranya kemarin. Wanita itu memiliki rambut kuning yang sama menyala—hanya lebih redup. Terlihat berusia kepala 4, mengenakan gaun tradisional yang dijahit tangan.

"Untuk apa putriku berkunjung malam ini?" Helen—Abrus melihat namanya terbordir di gaun—mempersilahkan Hellia duduk.

Jadi wanita ini membedakan anaknya padahal mereka kembar? Abrus menggertakkan gigi. Menjijikkan.

"Mama, aku berhasil jadi perwakilan untuk lomba tingkat distrik nantinya!" senyum Hellia—Abrus tahu itu palsu.

"Benarkah? Oh, aku tahu kau akan terkualifikasi! Kau jauh-jauh ke sini mau minta tanda tangan di surat izin?" Helen mengembangkan senyum, senyum telinga-ke telinga yang menurun pada anak kembarnya.

"Tentu saja, tapi aku juga rindu Mama!"

"Kau biasanya meminta izin ke papamu," singgung Helen sambil menorehkan tinta di kertas. "Datang kemari itu bagus, sering-seringlah berkunjung."

"Akan kupertimbangkan kalau sekolah tidak sibuk, Ma, heheh."

"Sudah, begini saja? Apa kau tidak menginap?"

Abrus menggigit bibir bawah. Ia sengaja tidak menguping perencanaan Hellio dan Hellia di kereta karena tidak sanggup mengatasi interaksi mereka. Apapun yang mereka bicarakan tadi, sebentar lagi pasti akan meledak. Lagipula, kejutan selalu menyenangkan.

"Maaf, Ma." Suara Hellia menjadi lebih dalam dan gelap. "Ada satu surat lagi yang perlu Mama tandatangani."

"Oh iya? Memang sekolahmu mengirim dua surat izin?"

"Bukan untukku." Hellia mengeluarkan gulungan milik Hellio, membeberkannya di depan Helen.

Senyum Helen terhapus, mulut menganga dan mata melotot seolah tak bisa percaya.

"Milik Hell?! Dia membujukmu, ya kan? Dasar bocah tidak benar itu! Tidak mau! Mau sampai dia sembah sujud sekalipun, aku takkan sudi mengizinkannya!"

"Kalau begitu ...." Hellia tersenyum gelap, memegang dua lembar kertas di tangan kiri. Abrus memberi gestur dukungan sambil menahan tawa puas meski tahu Hellia takkan melihatnya. Hellia menyalakan api berjarak lima senti dari dokumen. "Sekalian saja kita berdua tidak ikut. Aku dan Hellio bersaudara, kita akan selalu bersama."

"Cih!" decak Helen ketus. "Kau kira aku akan peduli, nona muda? Kalian ke sini hanya meminta surat izinku, terserah aku mau memberikannya atau tidak. Kalaupun sudah dapat, mau berangkat juga terserah kalian."

Penumbra [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang