Tahap 6: Kesepuluh
Sindy C. Vidya
Asap hijau memenuhi udara, lambat laun merasuk dalam saluran pernapasan. Hellio terengah-engah, tidak bisa menahan apinya lebih lama. Racun di api hijau Hellia benar-benar tidak terduga.
Hellia yang melompat mendeteksi kejanggalan. Ada empat benda asing berkecepatan tinggi masuk ke area kepulan asapnya, semua menuju Hellio. Hellia melambaikan tangan, secepatnya menghilangkan sebanyak mungkin asap dan api yang dia bisa, melesat turun dan menarik Hellio menghindar. Tentu saja, tak bisa menghindari seluruhnya.
Satu menggores lengan Hellia, memercik darah ketika ia mendorong Hellio. Satu menggores leher Hellio yang berusaha menghindar dalam kondisi shock. Hellio menghindari satu lagi yang—syukurlah—meleset, namun peluru terakhir masih berhasil menggores pelipisnya.
Mata Abrus melebar, mulut menganga tidak percaya. Dalam beberapa detik, Hellia bisa menghapus sebagian besar apinya. Di depan terdapat dua mage yang meringis karena sakitnya racun dan darah yang mengucur dari luka, namun masih utuh bernyawa. Pembunuhan yang sudah ia pertimbangkan—bahkan dengan meningkatkan senjata—kembali gagal, untuk kedua kalinya.
Hellio terduduk di tanah, napas memburu hingga ia berpikir bisa menghabiskan oksigen. Jantung berdegup begitu kencang, rasanya akan lepas. Ia meraba leher dan pelipis yang mengucur deras, memroses realita perlahan.
"Ini yang ke-sepuluh," gumamnya. "Ini ke-sepuluh ..."
"Lio!" Hellia menampar kedua pipinya, mata merah menatap khawatir—Hellia sedang memakai api merah untuk menyembuhkan diri. "Dia pasti di sini! Cepat habisi dia!"
Hellio mencengkeram kedua bahu saudarinya dan berteriak, "Ini yang kesepuluh! INI KESEPULUH, LIA!"
Abrus masih berdiri mematung, kapastias otak tidak sempat memroses pembicaraan aneh yang terjadi di depannya.
"Nggak ada pembunuh yang benar, cepat habisi dia sekarang!" Hellia menampar pipi Hellio lagi.
"Tapi—"
"Aku tahu kau bisa! Jangan khawatir, akan kupadamkan apimu!"
Hellio terdiam, memejamkan mata dan mengangguk. Ia menarik napas, garis-garis api ungu mengelilinginya. Tangan Hellia yang tadinya di pipi saudaranya telah pindah ke pelipis dan leher, menghangatkan luka itu dengan api merah penyembuhan.
Saat itulah Abrus baru sadar. Ia mundur beberapa langkah, lalu berlari menjauh.
"MENGAMUKLAH, HELLIO!"
Sial, sial! kutuk Abrus sambil berlari, kaki lebih berat dari yang pernah ia alami. Dia akan memenuhi lembah ini dengan api gilanya! Tidak ada batu, pohon, atau dinding yang cukup besar, tiada tempat sembunyi bagi bayangan!
Hellio menambah garis-garisnya, jalinan api membentuk simbol seperti tadi sebelum bertarung menghadapi Hellia. Ia membuat lingkaran di tanah, bagaikan summoner yang akan memunculkan makhluknya. Garis-garis api ungu memasuki lapisan tanah tipis, menyebar cahaya dalam tanah. Hellia masih pada posisi, berusaha menyembuhkan diri dan saudaranya.
Kaki Abrus berasa terbakar, ia berada di ambang batas. Magi bayangan digunakannya seharian, ditambah pembuatan empat peluru dan paparan radiasi api terus-menerus—radiasi cahaya tanpa tempat bersembunyi bayang-bayang—makin lemah dan melemah.
Garis sumbu api telah menyebar sempurna, Hellio memantik. Tembok-tembok api besar meledak, menyebar, cahaya menyilaukan hampir menutupi seluruh lembah. Semua terbakar dalam lautan api ungu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penumbra [Completed]
FantasiaAbrus adalah seorang siswa Akademi Mage Kremwelts sekaligus assassin paruh waktu. Mereka menyebutnya Monster Bayangan. Abrus memiliki dendam tersendiri terhadap Hellio, si Neraka yang selalu meraih peringkat pertama dan nilai sempurna di segala bid...