Tahap 7: Saat Dia Mulai Menghitung
Sindy C. Vidya
Satu tahun yang lalu
Seorang mage di depan Hellio merangkak bagai kadal. Ia memiliki mata heterochromia penuh kebencian, gigi seri bergerigi runcing dan taring panjang yang menggertak, rambut ungu cerah yang teracak liar, dan kuku panjang bagai cakar yang mencengkeram tanah. Selepas itu semua, mage tersebut tak berdaya.
Beberapa luka bakar menodai kulit pucatnya. Pakaian gosong dan terkoyak, ia sudah tak dapat bergerak.
Pertandingan baru saja berakhir. Seisi arena diam, Hellio mengangkat kedua tangannya untuk menghilangkan sebanyak api tercecer yang ia bisa. Hellio tak dapat menghilangkan rasa bersalahnya pada mage yang bahkan lukanya tak sanggup ia sembuhkan. Andai Hellio bisa mengungkapkan rasa sesal. Namun bagaimana, kata-kata tidak berguna apabila fisik tetap sama—
"NERAKA!" cela Abrus dengan suara seraknya yang hampir habis. "Aku ingin menggorok lehermu!"
Tiga detik keheningan masih berlalu, kemudian pecah. Hellio diam mematung, serasa ditusuk oleh pedang transparan. Rasanya hanya bisa diam terpaku, sepatu lengket dengan arena. Sorak-sorai penonton terdengar samar seperti dari kejauhan. Hellio tak memedulikannya. Meski secara teknis Hellio menang dan terkualifikasi menuju babak berikutnya, luka dari ucapan Abrus akan bertahan lama.
Seisi sekolah menjulukinya demikian sejak insiden itu. Hellio membencinya, darah mendidih dan ingin berteriak protes. Namun ia urung, hanya bisa mengepalkan tangan dan mengatupkan bibir menjadi senyuman karena jauh di lubuk hati, Hellio ingat sebutan Neraka bagi mage api tanpa rem sepertinya tidak salah sama sekali.
***
Sepuluh bulan yang lalu
Hellio sedang berjalan-jalan di hutan area sekolah, mencari bahan ramuan ketika seseorang berusaha membunuhnya untuk kali pertama.
"Yes, akhirnya kurang seperempat bahan lagi!" seru Hellio bersemangat.
"Setengahnya aku yang cari lo, jangan bahagia amat kamu!" temannya dengan rambut coklat muda yang berombak dan kaku menepuk punggung Hellio ringan.
"Tapi kan aku yang nanti meramu!"
"Iya dong, kita kan sudah punya peran masing-masing. Aku mencari kamu meramu, kalau mau bantu mencari juga terima kasih."
"Tau ah, terserahmu deh." Hellio melihat catatan bahannya lagi. "Oh, bulu burung Albicollis! Ini bagianmu, Leo!"
"Dimengerti." Leo—teman Hellio—menyeringai bersemangat, lalu melompat sebagai seekor singa dalam satu kedipan mata. Leo menghilang diantara pepohonan, mencari target burung Albicollis yang bisa diterkam.
Hellio tersenyum puas, punya teman shapeshifter binatang buas sungguh membantu. Ia mengecek daftarnya lagi. "Hm, daun bloomeria banyak di sekitar sini ...," monolognya sambil menyeleksi lalu memetik.
Hellio asyik melengkapi daftarnya. Daun bloomeria selesai. Kurang jamur bintik biru, sisik ikan neon, bulu burung malang yang akan diterkam Leo—
Sepasang cakar mendorong Hellio ke tanah, diikuti berat luar biasa yang menimpanya.
"Leo!" teriak Hellio sebal.
Leo hanya menggeram dan tidak bergerak, tetap menekan Hellio ke tanah. Surai yang terus bergerak menyapu kepala belakang Hellio menandakan Leo sedang menoleh, mengawasi sekitar.
GROOOAAAA!
Leo mengaum kencang, lalu menunggu beberapa saat. Akhirnya Hellio dilepaskannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penumbra [Completed]
FantasiAbrus adalah seorang siswa Akademi Mage Kremwelts sekaligus assassin paruh waktu. Mereka menyebutnya Monster Bayangan. Abrus memiliki dendam tersendiri terhadap Hellio, si Neraka yang selalu meraih peringkat pertama dan nilai sempurna di segala bid...