Tahap 9: Layaknya Pecundang Sejati
Sindy C. Vidya
[06.19]
Abrus bergumam sembari berjalan di hutan sekolah. Hellio yang sakit pasti ada di healing center sekarang, bahkan Jaison tidak mungkin bisa menyembuhkan racun Abrus secepat itu.
"Lucu sekali ya, Liolio~ biasanya kau yang menjengukku sekarang ganti aku yang menjengukmu~"
Lalu Abrus mencium aroma kayu terbakar. Ia berhenti dan langsung menyatu dengan bayangan. Abrus melompat dari balik satu pohon ke pohon lainnya, makin mendekati sumber kayu yang terbakar. Setiap langkah yang dia ambil, arahnya sama dengan healing center.
Aneh, pikirnya. Dasar, bocah neraka. Apakah kau sudah membuat masalah pagi-pagi?
Lalu Abrus melihat mereka dan terhenti.
Hellio tidak di dalam ruangan, melainkan di luar. Ia sudah berdiri di dua kakinya lagi, tangan terulur untuk memadamkan api yang membakar pepohonan. Rintihan dan erangan kesakitan dilontarkannya, keringat dan kotoran sudah menodai baju healing center.
Bahkan dengan dosis racunku, kau tak seharusnya berdiri sekarang. Kau kuat atau bodoh?
"Masih omong kosong!" bentak seorang mahasiswa—Abrus mengenali seragam marun itu—yang berperawakan mirip dengan Hellio. Abrus ikut tersentak kaget. Orang itu ... kakaknya?
"K-Kak Louise ...." rintih Hellio, tampak menahan beban yang begitu berat. "A-aku sudah ... tidak ...."
"Lemah!" bentak Louise. "Kau di kondisi ini karena kesalahanmu sendiri. Salahmu mengeluarkan magi membakar lembah tadi malam, untuk apa?!"
Dasar sok tahu, batin Abrus sambil menggertakkan gigi. Dia lemah begitu karena racunku, lho.
"Hh ... haaah!" Hellio terperenyak, kendali terlepas. kaki dan tangan tak lagi kuat menahan. Api di pohon mengamuk ganas, sudah membakar separuh daunnya. Abrus menjilat bibir.
Aku bilang akan mengawasimu, tapi ....
Abrus membentuk peluru duri, racun hitam menari-nari di antara jemari lentiknya.
Situasinya lezat sekali.
Abrus mengangkat duri membidik Hellio, menempatkan pelurunya pada posisi dan jarak yang tepat. Mata tajam Abrus terus mengawasi lekat target di hadapannya, tak berpaling.
"Kau takkan pernah menjadi adikku," kata Louise sambil berbalikn dan melambaikan tangan, memadamkan semua api buatan Hellio dalam sekejap.
"Ma ... maaf ...." Hellio bertumpu pada kedua lengan yang gemetaran hebat bagai suaranya.
"Jangan meminta—"
"Permintaan maafku ... memang tidak berguna ... tidak bermakna tanpa bukti ... tapi tak ada yang bisa kulakukan lagi, jadi ... maaf ... hanya ini ... tinggal ini ...."
"Tch!" decak Louise. "Lain kali kau mau tersenyum di arena, pikirkan wajah menyedihkanmu ketika memadamkan api di pohon saja tak bisa."
Louise beranjak, meninggalkan Hellio yang langsung terkapar. Karena menuju tempat persembunyiannya, Abrus mengaktifkan magi bayangan lagi agar tak terdeteksi. Abrus mengintip melalui celah pohon, melihat kondisi si target.
Hellio meringkuk di tanah, bahkan tak kuat duduk. Tangan dan kaki lemasnya yang pasti membara akibat sisa racun dan penggunaan magi berlebih terkulai lemas, tak dapat digerakkan. Hellio gemetar, ia terisak, air mata mengalir deras. Tangan Hellio tampak ingin menggenggam, ia seperti ingin kembali bangkit, tenaga sudah habis tak bersisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penumbra [Completed]
FantasyAbrus adalah seorang siswa Akademi Mage Kremwelts sekaligus assassin paruh waktu. Mereka menyebutnya Monster Bayangan. Abrus memiliki dendam tersendiri terhadap Hellio, si Neraka yang selalu meraih peringkat pertama dan nilai sempurna di segala bid...