Prolog

2.8K 231 34
                                    

Lonceng tanda kelas usai akan berbunyi ketika jarum pendek menunjuk angka sebelas dan jarum panjang di angka sembilan. Terik mentari adalah hal yang akan menyapa kami ketika keluar dari kelas ini. Sekolah memang tak full seperti jam biasa ketika bulan ramadhan seperti sekarang.

Dan apa yang aku rasakan sekarang?

Ngantuk.

Lapar.

Dahaga apalagi. Meski menelan ludah berkali-kali pun tak bisa menghilangkan rasa rindu tenggorokan akan air yang biasanya melintasinya.

Lima menit lagi.

Ayolah, apakah jam yang tertempel di atas papan tulis itu lupa berdetak. Rasanya dari tadi hanya berdiam di angka delapan.

Apalagi pak Ikhwan dengan rumus fisikanya, makin membuat mata ini kian mengantuk.

Ini gara-gara seseorang yang tak membiarkanku tidur setelah tadarusan semalam. Tetangga rese yang berstatus pacar.

Pacar siapa?

Pacar akulah!

Pacar Alluna.

Teng! Teng! Teng! Teng! Teng! Teng!

Alhamdulillah.

Waktu berbuka masih lama tapi rasanya sebahagia puasa bertemu adzan maghrib. Bereskan buku, lalu berdoa bersama sebelum pulang. Sudah terbayang kasur empuk di kamarku ketika mata ini terpejam saat berdoa.

"Lun! Pulang bareng yuk!" dia Tita, teman semeja sekaligus sahabatku. Rumah kami searah, jadi kami sering pulang bareng dengan mengayuh sepeda kami beriringan.

Rumah kami tak jauh dari sekolah, masih satu komplek jadi tak perlu susah payah nyari kendaraan umum. Bahkan jalan kaki pun bisa.

"Eh lupa! Aku nggak bawa sepeda. Tadi pagi diantar sama bang Ridwan," gadis itu menepuk dahinya sendiri lalu meringis tak enak.

"Nggak papa, Ta. Aku duluan ya kalo gitu. Udah ngantuk banget nih mata. Bye Tita!"

Aku abai pada muka cemberut sahabatku yang sedang membereskan buku-bukunya itu. Kakiku segera melesat ke parkiran di mana sepeda kesayanganku setia menungguku di sana sejak pagi.

"Luna!"

Siapa lagi sih yang panggil? Oh, Egi. Ketua Rohis sekolah. Dia tetanggaku juga. Satu dari Egi yang aku suka, selalu menundukkan pandangannya saat kami sedang berbicara. Dia ini calon imam dambaan para ukhti.

"Iya Gi? Ada apa?" Nggak mau basa-basi ah, mau cepat pulang.

"Mau ngembaliin ini."

"Oh, kak Aisyah udah selesai baca?" Aku terima novel yang Egi ulurkan, kakaknya yang meminjamnya dari ku dua minggu lalu.

"Makasih katanya. Dan iya, dia nggak bisa ngembaliin sendiri karena udah balik kuliah lagi. Dua minggu lagi baru pulang. Takut kelamaan, jadi dia nitip aku."

Kak Aisyah memang kuliah di luar kota, dan akan pulang dua minggu sekali. Dialah yang menginspirasiku untuk kuliah di luar kota juga, sepertinya itu keren. Berpisah sesaat dengan ayah bunda agar tau apa itu mandiri. Tahun ini aku lulus, dan kota Kak Aisyah adalah tujuanku. Aku ingin kuliah di kampus yang sama dengannya.

"Aku balik duluan ya, Gi?"

"Oh i-iya. Assalamu'alaikum."

Egi tak enak padaku sepertinya, jadi dia yang berbalik dan pergi.

Oke. Mari kayuh sepeda cantik ini dengan sisa tenaga sampai ke rumah.

Rumah ku tak jauh, sepuluh menit juga sampai. Tapi karena efek puasa, terasa jauh sekali tempat tinggal yang aku huni dengan ayah dan bunda.

"Hai cewek! Kasih tumpangan dong!"

Suara itu lagi. Entah kenapa di saat mau menghindar justru takdir malah mempertemukan.

"Nggak sudi!"

"Eh, nggak boleh gitu! Durhaka kamu sama pacar!"

"Kita nggak pacaran. Semalam aku udah putusin kamu! Minggir! Atau aku tabrak biar nyebur ke parit?"

Dasar bebal! Nih anak malah berdiri di tengah jalan. Emang minta ditabrak kan! Lihat aja, nggak mau minggir aku bakal tabrak playboy cap kambing ini.

"Emang kamu tega?"

"Seratus persen tega. Udah ngucap niat juga dalam hati. Minggir nggak?"

"Eh, puasa kan nggak boleh marah!"

Astaghfirullah lupa! Ampuni Luna Ya Allah.

Diem aja deh. Dari pada kepancing emosi.

"Luna, maafin yang semalam ya? Si Dewi yang nyosor duluan. Aku nggak tahu kalo dia bakal peluk aku dari belakang. Yang namanya dari belakang kan pasti aku nggak tahu, nggak kelihatan soalnya." Cowok ngeselin ini malah nyengir lebar.

Maaf saja, aku nggak terpengaruh. Aku masih diam dan nggak mau ngejawab. Biarin aja nih orang ngomong sama dinding pagar rumah orang.

"Luna! Jangan diem dong! Ntar nggak bisa tidur nih akunya! Sampe bolos kuliah biar bisa ketemu kamu di sini. Maafin ya!"

"Nggak lagi!" Iya, lagi. Nih pacar kurang ajar emang berkali-kali aku pergokin jalan sama cewek lain. Herannya kami baikan lagi. Karena emang dari dulu si mata sipit ini kelakuannya emang udah begitu. Kami udah sahabatan dari kecil. Tapi, aku tahu. Ceweknya yang mulai duluan, dan dengan alasan tak tega dan bikin hati perempuan sakit cowok berkemeja flanel ini akan melayani mereka satu persatu dengan totalitasnya sebagai pria normal.

Lalu apa kabar aku yang adalah pacarnya? Aku perempuan juga kan?

"Yah! Sedih dong akunya?"

"Ya silahkan. Sedih aja sepuas kamu. Permisi! Aku mau pulang!"

BYUR!

"Edan! Ngapain nyebur ke parit hah?!"

"Biar dimaafin sama kamu! Pokoknya maafin!"

"Elanggg!!! Naik nggak!"

"Nggak mau sebelum kamu maafin aku."

"Ntar dimarahin tante Berta tahu rasa kamu!"

"Itu urusan nanti! Mama nggak susah ngebujuknya. Tapi pacarku yang satu ini bahaya kalo udah marah!"

"Bodo! Biarin kamu tenggelam terus hanyut sampai ke laut. Biar di makan sama ikan hiu! Playboy emang tempatnya di laut sana!"

Aku mulai mengayuh sepedaku. Nanti juga dia bakal naik sendiri. Puasaku takut batal kalo dekat dia ntar marah-marah lagi pasti.

"Mbak! Itu temennya hanyut kenapa malah ditinggalin?!"

Astaghfirullah. Pasti si Elang drama lagi!

🐦🐦🐦
Assalamu'alaikum 😊

Hai!

Perkenalkan ini anak ke enam deh kayaknya 😂😂😂

Aku harap kalian suka.

Ini tentang perjalanan panjang Luna dan Elang.

Ini tentang hijrah, jadi tokoh mereka tidak langsung sempurna seperti yang sudah-sudah. Luna masih belum berhijab dan Elang non muslim.


Al Qur'an sebaik-baiknya bacaan
❤❤❤

Kita Tak Sama (LENGKAP) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang