Elang POV
Rasa-rasanya ada yang aneh. Baru tadi pagi, mandor dari para pekerja itu aku hubungi dan memberi tahu mereka bahwa hari ini semua pekerja harus datang dan beliau mengiyakan. Tapi, kenapa Bulan mengatakan mereka berulah? Apalagi menyangkut Luna. Jadi, sebelum aku pergi ke rumah Pak Lurah, aku memilih menghampiri rumah mandor itu dulu, yang kebetulan searah.
"Mau ke mana Mas Elang?" tanya pak Yudi__mandor itu, yang kebetulan sedang mengeluarkan motornya dari dalam rumah. Aku masih berada di dalam mobil dan baru akan turun, kebetulan dia yang menyapa duluan.
"Sengaja mau ke sini. Apa Bapak akan pergi?"
"Iya, Mas. Karena gladi resiknya dibatalin, jadi saya berniat mengunjungi anak saya di pesantren, Mas."
"Tapi saya nggak ngerasa ngebatalin, Pak. Justru kami tadi lagi nunggu kalian."
"Loh, kata Mbak Bulan tadi gitu. Dia satu jam lalu ke rumah saya. Jadi semua pekerja sudah saya kasih tahu."
Benar perkiraanku, Bulan punya rencana nggak baik. "Pak Yudi, boleh saya minta tolong untuk ikut saya sebentar? Dan mungkin, akan mengganggu acara Bapak dan istri," kataku saat seorang wanita keluar dari dalam rumah yang terlihat menenteng sebuah tas jinjing. Mungkin itu adalah sesuatu yang akan mereka bawa untuk anak mereka yang sedang menuntut ilmu di pesantren sana.
Pak Yudi nampak menatap istrinya, barangkali sedang meminta persetujuannya.
"Pergi saja dulu sama Mas Elang, Bi. Dia udah banyak bantuin kita, mungkin ini saatnya buat kita balas budi ke dia," tutur kata yang lembut sekali dari wanita yang telah berumur itu.
"Baiklah. Umi tunggu abi kembali, ya? Tapi kiranya nanti jika urusannya lama, kita tunda dulu buat mengunjungi Fatimah. Umi nggak keberatan? Masih kuat nahan rindu 'kan?" tanya Pak Yudi pada istrinya.
"Insyaa Allah, masih. Abi pergilah. Biar nanti motornya, umi yang masukkan ke dalam."
Pak Yudi hanya tersenyum lalu menghampiriku yang sedang berdiri di luar pagar rumahnya. Ternyata dalam pernikahan senyum aja udah bisa menjadi bahasa yang mengungkapkan banyak kata. Satu pelajaran tentang rumah tangga aku telah dapatkan dari mereka.
***
"Jadi begitu, Pak. Nanti Bapak bisa lihat dari mobil dulu. Saya cuma ingin tahu tentang maksud Bulan sebenarnya, kenapa dia sampai berbohong?""Baiklah, Mas. Kok saya jadi mikir jelek sekarang. Astaghfirullah." Pak Yudi mengusap wajahnya kasar. "Padahal belum tentu Mbak Bulan punya niat jelek."
Aku pun hanya tersenyum sambil fokus pada jalanan yang tak terlalu lebar di depan sana. Sebentar lagi, kami akan sampai.
"Jadi, Mas Elang beneran sudah nikah?" tanya Pak Yudi memastikan soal cerita yang tadi aku beberkan sepanjang perjalanan.
"Alhamdulillah, sudah, Pak. Wakil dari Mesir itu, beneran istri saya sejak semalam. Jangan bilang ini singkat ya, Pak. Nunggu dia itu lama banget, Pak."
Mandor yang juga seorang imam di masjid dekat sekolah itu pun lantas tertawa, entah di mana lucunya. "Siapa sangka jodohnya ketemu di sini. Saya dengar dia bercadar." Dia memang belum pernah bertemu Luna.
"Benar, Pak. Dan saya tahu, jika hal itu masih asing bagi para penduduk sini. Saya maklum jika tadi saat kami mengunjungi pasar, tak sedikit yang mengatainya ninja atau teroris."
"Iya begitulah. Sesungguhnya Islam muncul pertama kali dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing pula, maka beruntunglah orang-orang yang terasing. Saya juga mualaf seperti Mas Elang."
"Benar itu, Pak?"
"Iya."
"Masyaa Allah tabarakallah. Bahkan tak terlihat jika Bapak seorang mualaf saat menjadi imam di masjid."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Tak Sama (LENGKAP)
Genç KurguNamaku Radya Alluna, cewek biasa yang nggk ada istimewanya kecuali kesayangan ayah bunda. Usia tujuh belas tahun, bentar lagi aku lulus SMU dan bercita-cita untuk meneruskan studiku ke luar kota. Iya, hanya luar kota bukan luar negeri tapi ada satu...