Luna POV
Apa aku harus datang? Mengingat betapa menyebalkannya Elang versi terkini. Kenapa sih dia? Kenapa bisa semenyebalkan itu?
Jemari aku sampai merah gini, karena aku remas sedari tadi. Gusar melandaku, atau lebih tepatnya belum siap ketemu lagi sama Elang yang entah kenapa bisa berubah begitu.
Apa karena aku bukan Luna?
Apa dia akan berubah baik andai tahu jika aku Radya Alluna?
Kami bersahabat sejak kecil, tapi kenapa segugup ini saat mau ketemu dia?
"Ayo kita berangkat!" Tita sudah keluar dari rumah, memang sedari tadi aku menunggunya di teras. Oh andai, waktu bisa diundur ke belakang.
Aku tersenyum kikuk meski dia tidak bisa melihat senyumku ini. Sia-sia saja kan? Padahal aku berniat menyamarkan kegugupanku, namun sia-sia, Tita bahkan tak menyadarinya.
"Nanti bakalan lama nggak sih, Tita?" aku membuka pintu belakang yang berlawanan dengan pintu yang dibuka Tita. Dia selalu menggunakan jasa supir karena tidak bisa menyetir.
"Kayaknya bakal sampai sore, kata Elang kita disuruh bantuin ngecat. Pak Tukangnya pada nggak masuk."
"Ngecat?!"
"Iya, udahlah kita berangkat dulu aja deh. Soal nanti, aku usahain buat kita bisa pulang cepat."
Aku mengangguk kelu dan mengikuti Tita masuk ke dalam mobil yang lalu bergerak maju meninggalkan halaman rumah indah nan asri ini, menuju tempat di mana aku yakin tak akan bisa baik-baik saja di sana nanti.
Elang seperti bukan Elang saja. Eh tunggu dulu? Apa dia sedang marah padaku karena sesuatu? Apa dia tahu aku Alluna?
Hatiku tertawa konyol. Itu tidak mungkin, Alluna.
***
Sejak turun dari mobil tadi rasanya lututku tak berhenti bergetar. Apa debaran jantung bisa merambat sampai ke lutut? Ah, otakku barang kali yang pindah ke bawah sana. Aku benar-benar lupa bagaimana caranya berdiri tegak dengan benar, tanpa meremas tangan atau memilin ujung khimar.Padahal sosok yang membuat tingkah konyolku ini bahkan belum nampak. Tapi lihat! Tubuhku sudah selebay ini karena khawatir.
"Assalamu'alaikum."
Deg
Suara itu? Suara Elang.
Suara yang tak asing, tapi baru kali ini aku mendengar salam keselamatan itu terlontar dari mulutnya. Dan hal itu, membuat gugupku hilang seketika.
Perbedaan yang dulu ada di antara kami benar-benar lenyap.
Tapi, jangan lupa Lun! Dia nyebelin!
Eh tunggu! Mikir apa sih aku? Di sini aku bukan Radya Alluna. Bukan. Jangan membuat skenario drama yang aku tak berhak ada di dalamnya.
Dulu akulah yang memilih pergi.
"Wa'alaikumussalam." jawab kami kompak pada Elang yang datang bersama seorang wanita bergamis soft pink, dan dia amat manis.
Siapa dia?
"Lama banget! Darimana sih?" keluh Tita yang akhirnya memasukkan ponselnya ke dalam tas selempangnya. Sejak tadi dia sibuk dengan benda itu.
"Beli ini." kata wanita yang berdiri di samping Elang, sambil mengeluarkan kuas kecil dari dalam kantong plastik yang dibawanya.
"Baru juga setengah jam," Elang menaruh dua kaleng cat di samping kakiku padahal kaleng-kaleng yang lain ada di dekat tembok sana, hingga aku harus mundur ke belakang. Harus banget ya? Menaruhnya di sini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Tak Sama (LENGKAP)
Novela JuvenilNamaku Radya Alluna, cewek biasa yang nggk ada istimewanya kecuali kesayangan ayah bunda. Usia tujuh belas tahun, bentar lagi aku lulus SMU dan bercita-cita untuk meneruskan studiku ke luar kota. Iya, hanya luar kota bukan luar negeri tapi ada satu...