Istriku

977 178 15
                                    

Elang POV

"Alhamdulillah, acara berjalan lancar. Terima kasih untuk kerja sama kalian, ya." Tita sedang bersama Luna, keduanya terlihat lega dengan antusias para orang tua untuk mendaftarkan anak mereka. Bahkan beberapa sudah mendaftar untuk mengikuti ajaran baru tahun ini. Dua sahabat itu terlihat sangat puas dan bersemangat saat menyalami para calon pengajar. "Apa kamu tahu? Kenapa Bulan tidak datang? Padahal dia salah satu bagian dari kita," tanya Tita pada seorang wanita  kepada salah satu dari mereka yang aku tahu bernama Rika dan dia pun
menggeleng tanda tak tahu.

Pikirku alasan Bulan absen adalah karena peristiwa kemarin. Aku memang memutuskan untuk tak menceritakan itu pada anggota yang lain. Untuk saat ini, tapi tidak untuk nanti, karena ternyata berbuntut panjang.

"Elang?" Luna menghampiriku yang sedang duduk di salah satu kursi plastik yang berjajar kosong karena para tamu sudah pulang ke rumah mereka masing-masing.

"Ada apa, istriku? Udah kenalannya?" tanyaku lalu beralih tatap dari layar ponselku ke Luna.

Dia langsung mengernyit karena panggilanku, sejak pagi aku tak berhenti menggodanya, karena hal itu amatlah sangat menyenangkan mesti akhirnya aku akan dihadiahi cubitan atau pukulan mesra darinya.

"Jangan panggil aku begitu jika di tempat umum, Elang, malu tau!" protes Luna.

"Malu kenapa? Kenyataannya memang begitu. Kamu istriku, dan sebentar lagi akan menjadi ibu dari anakku." Aku memasukkan ponsel yang sejak tadi aku pegang untuk membalas pesan dari teman kantorku yang menanyakan kapan aku akan turun gunung. Artinya, beberapa hari lagi aku harus pergi bekerja, karena proyek amal ini sudah selesai. Setidaknya untuk tahap sekarang.

"Kan, kamu mulai lagi? Dari semalam itu mulu yang kamu bahas," Luna menunduk dan meremas jemarinya. Aku tahu dia malu.

"Semalam 'kan---"

Tita datang  dan bergabung dengan kami dengan wajah bertabur senyum jahilnya.

"Semalam gimana?" Tuh 'kan? Itulah arti dari senyuman Tita. Dia yang merencanakan, tentu dia penasaran dengan hasilnya.

"Gimana apanya?" Aku berdiri dan berniat pergi dari pertanyaan penuh selidik yang akan Tita hujankan pada kami. "Aku pergi dulu ya, aku ada urusan sama Pak Yudi. Apa yang pengen kamu tahu, tanya pada istriku ini saja." Aku kerlingkan sebelah mataku pada wanita bercadar yang aku yakin wajahnya memerah. "Dadah ... Istri! Jangan rindu, ya! Aku pergi nggak lama kok! Nitip ya, Ta!"

Luna melotot tajam ke arahku, dan Tita menertawai sahabatnya itu. Ah, sayangnya aku harus pergi karena Pak Yudi tadi menelfon bahwa Bulan semalam hampir bunuh diri. Dia memintaku datang bersamanya ke rumah Pak Lurah sekarang. Jika tidak, aku pasti akan menemani istriku yang sebentar lagi akan diwawancara oleh Tita.

Semoga yang aku takutkan tak terjadi,  jangan sampai Luna tahu duluan berita tentang Bulan dari orang lain. Aku baru akan mengatakan padanya nanti usai dari rumah Pak Lurah.

***
"Begitu ceritanya, Pak." Pak Yudi selesai bercerita pada sepasang orang tua yang  sedang bersedih dengan apa yang baru saja puterinya lalui.

Kami berdua dipanggil karena  apa yang terjadi pada Bulan, yang hampir memotong pembuluh darah di pergelangan tangannya dengan pisau, andai Bu Lurah tak memergokinya semalam, mungkin kini Bulan sudah berbeda alam dengan kami.

Astaghfirullah.

Manusia memang diberi akal tapi jika iman tak dipupuk dalam jiwanya, maka setan akan mudah menguasainya.

Bulan bilang ke orang tuanya bahwa kejadian ini adalah salahku, itulah kenapa aku berada di sini.

Sedangkan Pak Yudi tahu lebih dulu karena salah satu jamaah sholat subuh tadi bercerita perihal masalah Bulan yang hendak melukai dirinya kepada Pak Yudi.

Kita Tak Sama (LENGKAP) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang