Elang POV
Senyumnya hilang, dan entah apa yang mengembara dalam pikiran dan diamnya. Aku diabaikannya berhari-hari, meski aku tepat di depan matanya. Mengajaknya bicara adalah percuma. Rasanya wanita tanpa daya di hadapanku ini bukan Alluna.
Di atas brankarnya dia hanya duduk seolah tak bernyawa.
"Lun.. aku kangen. Ngomong dong! Ngomong sama aku!"
Dia hanya diam bahkan melihatku pun tidak. Terus seperti ini sejak hari di mana bunda Ayu dan ayah Ilham pergi ke surga.
"Kamu sakit, aku juga. Kamu hancur, aku juga. Kamu diemin aku begini rasanya kayak kamu nyuruh aku mati juga, Luna. Apa kamu benar-benar akan pergi ke Mesir?"
Kata mama, paman Ahmad akan membawa Luna bersamanya ke Mesir. Meski mama sudah memohon agar kami saja yang merawatnya, beliau menolak karena Luna adalah anak dari adik satu-satunya. Apalagi beliau belum dikarunia keturunan.
"Jika iya, tolong bicara padaku sekali saja. Sekali saja Luna, untuk ku jadikan obat jika aku rindu. Salah, bukan jika tapi aku pasti rindu kamu."
Saat ini pun aku sudah sangat rindu.
"Elang? Kita pulang sayang," mama dan papa datang. Mereka baru saja menyelesaikan semua administrasi rumah sakit sementara paman Ahmad mengurus surat kepindahan Luna ke Mesir.
"Iya ma," kataku lesu. Aku menyerah, sia-sia mengajak gadis yang teramat aku cintai ini untuk bicara. Aku berdiri dari kursi di samping brankar lalu tanpa pamit pada pasien jahat yang mendiamkanku berhari-hari itu. Tak sepatah kata pun aku tinggalkan untuknya.
Aku akan mengurus patah hatiku setelah keluar dari ruang inap ini. Entah bagaimana caranya, semua sudah sangat buruk saat ini. Tak masalah jika akan semakin buruk.
***
"Elang?""Hmmm," Aku hanya bergumam menjawab mama. Aku lebih fokus pada jalanan yang setiap hari aku lewati ketika akan ke rumah sakit dari kaca jendeladi samping kananku.
"Luna pergi malam nanti."
Aku menoleh pada wanita yang kehilangan berat badannya hingga terlihat kurus ini, lalu menghambur memeluknya untuk mencari damai di hangat dekapannya. Aku ingin menangis dan itulah yang aku lakukan setelah mama mendekapku. Kami menangis bersama.
"Ikhlaskan dia. Luna pergi agar tak melihat bekas lukanya. Dia tak akan sanggup menginjakkan kakinya di rumah itu lagi. Jika kamu sayang padanya, ikhlaskan dia pergi."
"Tapi mama... Luna nggak mau bicara sama Elang. Apa Luna sengaja bikin Elang gila perlahan?"
"Dia butuh waktu sayang. Mudahkan dia memilih jalannya."
Aku mengangguk kelu. Aku tak punya kuasa untuk membuatnya tetap tinggal. Lembaran kisah kami usai dan inilah bab akhirnya.
Perpisahan.
***
Aku tak bisa tenang, kata mama Luna pergi malam ini. Di satu sisi mataku tak ingin menyaksikan dia pergi, di sisi lain hatiku ingin melihatnya untuk terakhir kali.Mama dan papa sudah pergi ke sana untuk melepas gadis yang sudah seperti putri mereka, meninggalkan aku yang memang menolak ikut. Buat apa? Pasti Luna tetap tak mau bicara. Itu hanya akan membuatku semakin kesal padanya.
Tapi berbaring di ranjang ini pun rasanya tak nyaman, seolah dinding ikut membisikkan namanya dan menyuruhku melepas kepergiannya. Hingga membenamkan kepalaku di bawah bantal pun percuma. Telinga ku tetap mendengar lirih namanya, apalagi saat ku tatap fotonya di atas meja belajarku. Aku mulai rindu senyumnya seperti yang aku lihat di foto itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Tak Sama (LENGKAP)
Ficção AdolescenteNamaku Radya Alluna, cewek biasa yang nggk ada istimewanya kecuali kesayangan ayah bunda. Usia tujuh belas tahun, bentar lagi aku lulus SMU dan bercita-cita untuk meneruskan studiku ke luar kota. Iya, hanya luar kota bukan luar negeri tapi ada satu...