Kembali Ke Rumah

946 191 35
                                    

Hari ini saatnya pulang ke rumah.

Elang harus masuk kerja, jadi aku ikut kembali ke rumah bersamanya. Meski dia sudah menawariku berkali-kali untuk menginap di hotel, tapi akhirnya aku tolak karena sekarang aku seorang istri, sekaligus seorang menantu. Selain Elang, Mama Bertha harus aku pikirkan juga. Dia adalah ibuku sekarang.

"Masih ada waktu andai kamu ingin berubah pikiran. Kamu yakin, Lun, kita pulang ke rumah?" tanya Elang. Dia sedang menyetir dan baru saja kami memasuki perbatasan masuk ke kota yang menjadi tempat kelahiran kami.

"Ketakutanku harus aku hadapi, nggak mau lari lagi. Tapi, bantuin ya, Elang."

"Pasti, istriku. Pegangan aku aja kalo takut, aku selalu ada untukmu."

Plak!

"Kok mukul sih?" Dia meringis imut karena aku memukul ringan lengan kirinya.

"Ya abisnya, kamu ngomongnya kayak kita mau nyebrang jalan aja. Aku serius, Elang."

"Apa aku tadi terdengar bercanda? Dasar, istriku."

"Kan gitu lagi? Kenapa manggilnya gitu mulu, sih?"

"Kan emang kamu istri aku, 'kan?"

"Tapi malu kalo orang lain dengar. Di sini cuma ada kita, nggak pa-pa deh manggilnya gitu. Tapi jangan pas di depan umum, ya."

"Cium dulu! Baru aku iyain." Elang mendekatkan pipinya padaku, yang langsung aku dorong perlahan agar dia fokus pada jalanan di depan.

"Nanti aja di rumah, minta sama Mama."

"Ck. Kamu, nih. Masih susah aja, minta cium dari kamu."

Dan aku malah tertawa mendengar gerutuannya. Namun tawa itu tak lama, karena sejak pagi tadi ada sesuatu yang mengganggu pikiranku.

"Mikirin apa? Cerita ke aku, Luna." Elang bertanya dan aku menoleh padanya. "Ada sesuatu yang kamu pikirkan. Benar?"

Aku mengangguk, lalu menarik nafasku dalam, "rasanya, aku bukan anak yang baik. Aku belum sekali pun melihat rumah Ayah dan Bunda."

"Mau ke sana sebelum pulang?" tawar Elang padaku. "Aku akan bawa kamu ke sana, dan bilang sama mereka kalo kita sudah menikah."

Teringat mereka, selalu membuatku menangis. Sejauh apapun aku berlari sesungguhnya kenangan mereka tak sepenuhnya hilang. Bagaimana pun juga aku bagian dari mereka dan begitu pun sebaliknya.

"Sekarang udah ada aku. Kuatlah. Kamu nggak sendirian lagi." Elang dengan lembut mengusap kepalaku, dan aku sibuk mengusap air mataku.

***
Bunda sudah hafal derap langkahku dan Ayah. Tiap kami pulang, saat membuka pintu, selalu ada Bunda yang sudah menyambut kami dengan senyumnya. Tapi kali ini, Bunda dan Ayah sudah tidur tenang dalam pusara yang hanya bertuliskan nama mereka, nggak ada senyum apalagi sebuah pelukan.

Luna rindu kalian.

"Ayah, Bunda ... Maafin Luna ... baru datang lihat kalian. Setelah enam tahun, Luna pikir air mata ini udah nggak akan keluar lagi buat kalian. Tapi ... Luna salah. Bahkan lukanya masih sama. Bunda ... pertemuan terakhir kita, nggak akan mungkin bisa Luna lupa. Tentang Dia ... yang Bunda bicarakan, Luna belajar buat mengenalNya, hingga Luna menjadi seperti sekarang. Maafkan puteri Bunda ini yang dulu belum sempat memakai baju-baju yang Bunda belikan untuk Luna."

Aku terisak dalam dekapan Elang. Sungguh tak pernah aku sangka, bahwa aku akan mengunjungi makam kedua orang tuaku bersamanya. Elang membuat ini tak seburuk yang aku bayangkan.

"Bunda dan Ayah sudah bersama dengan Dia sekarang. Tinggallah di taman surgaNya dengan tenang. Luna pun begitu, lihatlah Bunda, Ayah, siapa pria ini? Dia yang pernah melamar Luna dengan beraninya pada Ayah sore itu. Kami akhirnya menikah, tanpa harus melanggar aturan agama kita. Restui kami, semoga pernikahan kami berkah hingga ke surga."

Kita Tak Sama (LENGKAP) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang