Elang POV
Mereka pikir aku tidak tahu. Mana mungkin aku tak mengenalinya? Bahkan, meski dia memakai kain niqab sepuluh lapis sekali pun aku bisa mengenalinya.
Aku tahu, wanita bercadar yang berlari seperti pencuri yang ketahuan dan cuma beralaskan kaos kaki hitam kemarin adalah gadis jahat yang pergi enam tahun lalu. Aku mengenali bau Alluna. Sangat.
Dan rasanya aku selalu ingin menertawai kejadian siang kemarin. Tubuhnya membeku hanya mendengar suaraku saja. Apa yang membuatnya mematung seperti itu? Apa suaraku terdengar seperti bola salju yang menggelinding di pendengarannya hingga dinginnya bisa membuat tubuhnya membeku?
Lucu sekali.
Enam tahun Luna. Dan itu nggak sebentar. Kamu berlari dan aku tak mengejarmu. Kamu yang mau kan? Betapa nggak pedulinya kamu selama enam tahun ini, dan sekarang aku sudah bersiap membalasmu.
Bukan balas dendam, karena dendam itu nggak baik. Islam melarang itu, jadi sudah ku berikan dia maafku sejak bertahun-tahun lalu. Aku hanya ingin membalas sikapnya dengan caraku. Sebagai pelampiasan rindu, mungkin?
Jadi, mencuri sepatunya adalah pembalasanku yang pertama. Aku tahu itu kekanakan, tapi membuatnya kesulitan dan mati kutu adalah agendaku di pertemuan-pertemuan kami ke depannya.
Aku tahu dia akan pulang sejak sebulan lalu, dari Egi. Setelah proses taaruf dia dan Tita. Egi tak sengaja menyebut nama Luna. Dan aku tahu betapa menyesalnya dia akibat kecerobohannya sendiri.
"Anggap aja kamu pura-pura nggak tahu. Kalo Tita tahu, bisa diamuk aku sama dia." Kata Egi yang kini sudah membuka prakteknya sendiri. Dia seorang dokter sekarang.
Dari situlah, segala informasi tentang Luna, Egi bocorkan padaku. Asal aku mau diam dan pura-pura tidak tahu. Ternyata ikut andil di proyek amal ini ada kebetulan yang indah untukku. Luna pulang, dan aku siap membalasnya. Enam tahun tidak peduli kabar apapun tentangnya, tapi saat tak sengaja disebut Egi tentang kepulangannya, hatiku menuntut lebih dan menolak tidak peduli untuk waktu yang lebih lama.
Elang belum move on? Jawabnya adalah belum. Tapi lukanya sudah sembuh. Islam telah menyembuhkannya.
Hari ini dia akan datang bersama Tita, aku yakin itu. Karena aku memintanya untuk memilih cat yang cocok untuk sekolah anak usia dini yang sudah rampung ini.
"Aku pria, mana tahu warna yang cocok buat anak-anak. Kamu yang pilih!" Itulah alasanku yang Tita percayai. Ini bidangku, mana mungkin aku nggak tahu. Tita tetaplah Tita, kami bersahabat sejak kecil. Jadi aku tahu kelemahannya.
Niat jahatku akhirnya membawa Tita menggiring sahabatnya ke sini. Itu mereka datang.
"Assalamu'alaikum." Tita berjalan ke arahku yang sedang duduk di teras bangunan setengah jadi ini.
"Wa'alaikumussalam. Sendirian Ta?" Basa-basiku. Aku tahu di dalam mobilnya ada Luna, karena siluetnya terlihat dari tempatku duduk.
"Sama teman. Mana katalognya?"
"Di mobilku."
"Ambil sana! Aku tunggu sini," dia duduk di kursi plastik yang ada di sampingku. Aku permisi sebentar untuk mengambil katalog salah satu produk cat terbaik di negeri ini.
Aku berjalan ke mobilku yang terparkir di samping mobil Tita. Aku melirik di jok penumpang__yang aku tahu itu Luna__ sedang menunduk dalam.
Ya ampun, Mbak! Semenakutkan itukah wajahku. Tapi aku senang dan teruslah begitu, karena aku akan terus menempatkan posisimu di situasi yang nggak enak.
Hanya lima menit saja, aku sudah kembali ke tempat semula. Aku duduk di samping Tita, yang sudah mulai membuka-buka katalog yang ku berikan padanya dengan sedikit menggerutu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Tak Sama (LENGKAP)
Fiksi RemajaNamaku Radya Alluna, cewek biasa yang nggk ada istimewanya kecuali kesayangan ayah bunda. Usia tujuh belas tahun, bentar lagi aku lulus SMU dan bercita-cita untuk meneruskan studiku ke luar kota. Iya, hanya luar kota bukan luar negeri tapi ada satu...