Elang POV
BRUKKK
Beberapa detik tercipta hening usai suara itu terdengar. Semua mata tertuju padaku yang terkapar di lantai ditindih tubuh Aluna.
Sandiwaraku ketahuan.
Tubuhku sudah seperti memiliki sensor jika Luna sedang dalam bahaya, dia akan tergerak sendiri untuk melindunginya. Alhamdulillah, hanya sedikit cat berwarna merah itu yang mengenai pakaian kami.
"Eh, bukan mahram ya!!" suara Tita yang menggelegar kemudian segera membantu sahabatnya bangkit dari atasku. "Duh baju kamu, kotor deh!"
Aku bangkit dan pastinya tak luput dari tatapan wanita bercadar yang aku panggil nama aslinya tadi.
Jangan pandangi aku begitu, Luna.
Setelah ini, akan ada drama. Apalagi aku membawa seseorang saat ke sini barusan.
"Luna!" itu dia, wanita tercantik di dunia yang aku bawa. Nyonya Bertha, mamaku. "Luna? Ini benar Luna-nya Tante kan?"
Entah sejak kapan mama sudah mendekat ke arah kami, dan kini dua wanita yang aku sayangi ini sudah memulai drama itu. Dengan air mata tentu saja.
Aku bercerita pada mama, bahwa Luna telah kembali, dan saat itu juga dia langsung datang ke rumah yang aku sewa sejak mengerjakan proyek sekolah ini. Tadi aku sengaja menjemputnya, dan mau tak mau sandiwaraku harus terbongkar, karena mama marah besar saat aku bilang aku pura-pura tak tahu jika dia adalah Radya Alluna.
Beberapa detik mereka berdua saling takjub dengan penampilan satu sama lain. Lalu menangis, iya apalagi? Mereka wanita, mudah sekali mengeluarkan senjata ampuh mereka itu. Dan kami kaum pria akan luluh jika mereka lakukan itu di hadapan kami.
Mamaku sekarang berhijab. Alhamdulillah, dua tahun lalu beliau mualaf. Masih sangat ku ingat sore itu, saat aku pulang ke rumah lama Luna yang sekarang aku tinggali sendirian. Ku kira aku melihat Bunda Ayu, karena ada seorang wanita yang memakai bajunya dan sedang berdiri di depan cermin kamar bekas Bunda.
Ternyata itu mama.
Sedangkan papa, dia mualaf setahun sebelum mama. Kami seiman, dan tak ada yang lebih membahagiakan dari itu. Bertahun-tahun aku menunggu itu, aku tak lelah mendoakan mereka hingga keajaiban itu datang.
"Tan--Tante Bertha!" akhirnya mereka berpelukan. Saling melepas rindu dan membuat suasana mengharubiru. Dalam hati aku pun bahagia, tapi sebisa mungkin aku bersikap biasa. Aku masih ingat tentang pembalasanku pada Luna. Sekarang pun masih sama meski aku yakin saat ini dia sedang berpikir tentang kepura-puraanku di benaknya.
"Tante kangen kamu, sayang. Kamu apa kabar?" mereka berpelukan sambil menangis tersedu. Hali itu membuat Tita dan Bulan mematung di tempatnya, dengan pikiran mereka masing-masing.
"Luna juga kangen.. Kangen Tante Bertha... Sangatt.."
Kalo sama aku, Lun? Kalimat dalam hatiku, karena tak mungkin menyuarakan tanya itu sekarang. Bahkan mungkin tak akan aku tanyakan.
"Kalo begitu, bisa Tante minta untuk tak pergi lagi?"
"Rumah Luna bukan lagi di sini, Tante. Luna harus kembali."
Mama menggeleng kuat di pelukan Gadis Jahat itu, dia terlalu lama menahan kerinduannya akan sosok sahabatnya yang akan bisa terobati oleh putrinya. Namun itu mungkin cuma sebatas harapan mama, karena aku yakin keinginan Luna justru sebaliknya. Dia tetap tak akan tinggal.
"Ma, udahan sih nangisnya. Kan udah ketemu, aku antar pulang lagi, ayo!" aku menjadi peran jahat yang ingin memisahkan keduanya segera. Jika ini berlangsung lebih lama, mamaku hanya akan semakin menangis jika penolakanlah yang terus Luna ucapkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Tak Sama (LENGKAP)
Fiksi RemajaNamaku Radya Alluna, cewek biasa yang nggk ada istimewanya kecuali kesayangan ayah bunda. Usia tujuh belas tahun, bentar lagi aku lulus SMU dan bercita-cita untuk meneruskan studiku ke luar kota. Iya, hanya luar kota bukan luar negeri tapi ada satu...