Apakah anak muda seusia kami, jika berpikir akan seperti aku dan Elang? Yang terpenting adalah masa sekarang dan mengabaikan apa dampak yang terjadi nanti ke depannya. Kami sedang berjalan bergandengan sambil tertawa riang menuju perpisahan. Perpisahan yang akan menghancurkan kami.
Cinta.
Kami menggenggam satu kata itu sekuat yang kami bisa. Rasa nyaman dan saling membutuhkan ini sudah ada sejak kami masih kecil. Hingga ketika kami dewasa kami ubah rasa itu dan menamainya dengan kata 'cinta'.
Aku cinta Elang. Dan kalo ditanya seberapa banyak, maka akan aku jawab sebanyak bintang di langit. Sebanyak tetesan air hujan yang membuat bumi basah dan bunga tumbuh bermekaran.
Itulah kenapa dengan senang hati aku sambut tangannya kala dia tawarkan akan memberikan seluruh hatinya untukku.
"Bunda, Luna berangkat dulu ya?" Hari ini aku ujian akhir, dan ini hari terakhir.
"Kenapa nggak dihabiskan rotinya?"
"Kenyang bunda."
"Nanti mubazir, dan mubazir itu temannya setan."
"Luna teman Elang, bunda. Bukan setan. Ya baiklah, kalo begitu Luna bawa aja ke sekolah."
Dua bulan berlalu sejak malam di mana Elang menangis di kamarku. Dia memang cowok berhati lembut, nggak tegaan dan ganteng. Dasar pacarnya Luna!
"Semoga ujiannya lancar ya sayang. Kamu jadi kan kuliah di kampusnya Aisyah?"
"Mmm... Lihat nanti aja deh bunda. Luna berangkat ya? Assalamu'alaikum."
Aku harus segera pergi untuk menghindari percakapan ini. Kampus kak Aisyah memang incaranku sejak dulu, tapi Elang tidak mau LDR-an. Jadi aku perlu membujuknya dulu, agar tidak ngambeg.
Kring Kring Kring
Itu dia si Tukang Ngambeg.
"Berangkat bareng yuk, cinta!"
"Apaan sih Lang? Jangan gitu ih manggilnya. Luna nggak suka!"
Yah, dia malah ketawa.
"Kan kamu cintanya aku. Hidupnya aku. Dan matinya aku."
Mulai lagi kan dia. Semenjak malam itu, dia berjanji tidak akan deketin cewek lain lagi. Jadi akulah satu-satunya pacar dia sekarang. Katanya sih untuk selamanya. Jadi ngeri saat membayangkan kata 'selamanya' itu. Karena pasti tak akan mudah.
Dia ngaku kalo sudah lelah terbang ke sana ke sini lalu dia putuskan berhenti dan akulah tempatnya pulang.
Aku mulai mengayuh sepedaku dan dia mengiringi seperti biasanya. Sekolahku dan kampusnya memang searah.
"Kapan ke Semarang?" tanyaku perihal pertandingan volly-nya yang akan diadakan di sana.
"Minggu depan. Ikut yuk! Ujian udah kelar kan?"
"Nggak bisa deh kayaknya. Pasti bunda nggak kasih izin. Lagi pula masih ada ujian praktek."
"Bakalan kangen deh pasti."
"Jangan lebay deh, Lang. Oh ya, bunda tadi nanya soal kampus pilihanku. Nggak apa-apa ya, misal aku kuliah di kampus kak Aisyah?"
Dia mengerem mendadak dan terpaksa aku melakukannya juga. Wajahnya langsung keruh seketika. "Kita udah bahas ini ya Luna. Kenapa gitu lagi nanyanya?"
"Bunda pasti curiga kalo tiba-tiba akunya nggak mau kuliah di sana. Lagian dua minggu sekali aku bakal pulang. Please ya.. !" Bunda sekarang makin gencar menyinggung perbedaan aku dan pemuda yang sedang menekuk wajahnya ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Tak Sama (LENGKAP)
Fiksi RemajaNamaku Radya Alluna, cewek biasa yang nggk ada istimewanya kecuali kesayangan ayah bunda. Usia tujuh belas tahun, bentar lagi aku lulus SMU dan bercita-cita untuk meneruskan studiku ke luar kota. Iya, hanya luar kota bukan luar negeri tapi ada satu...