Suara Itu

886 200 23
                                    

Luna POV

Enam tahun berlalu, dan akhirnya aku pulang ke negara ini. Kata Bibi, tak baik tinggal di negeri orang hanya karena alasan ingin bersembunyi. Meski seingin apa aku untuk tak pulang, tapi suatu saat akan ada alasan untukku menginjakkan kakiku di tanah kelahiranku lagi. Itulah yang selalu Bibi Salma katakan.

Dan di sinilah aku sekarang, bandara.

Alluna akhirnya pulang.

Tita akan menikah, jadi mau tak mau aku harus datang. Karena selama ini meski kami berjauhan, tak pernah sehari pun terlewat tanpa mengobrol lewat telfon bahkan video.

Yah, sahabatku itu akhirnya dilamar oleh pria yang dia taksir sejak kecil, Egi yang tak lain adalah tetangga kami dulu, sebelum Tita dan keluarganya pindah. Ternyata jarak tak menghalangi tali jodoh yang memang sudah Allah atur sedemikian rupa.

Mungkin hal itu tak berlaku bagiku, dengan seseorang yang masih tinggal di hati. Tapi aku tak mencoba mencari. Selain kematian orang tuaku, alasan aku pergi adalah dia. Tak ingin kembali alasannya pun dia juga.

Aku menyerah mencoba lupa. Jadi, biarkan saja dia bersemayam dalam hati dan raga. Dan jangan sampai kami bertemu kembali. Jangan. Karena takut pelarianku sia-sia.

Dan juga, kami berbeda.

"Luna!!" Suara cempreng itu, sudah pasti Tita. Jika bukan dia, mustahil akan ada yang mengenaliku karena kain niqab yang menutup sebagian wajahku sudah semenjak lima tahun lalu.

"Tita!" Aku menarik koper laju untuk menyongsong calon pengantin itu.

"Kangennya!" Seru Tita sambil memelukku.

"Lepasin Ta, akunya susah nafas ini! Calon pengantin agresif amat!"

Tita justru tergelak. Lalu menggandengku menuju sebuah mobil yang sepertinya memang menunggu kami. Tak lama kami masuk, mobil pun melaju setelah Tita mengeluarkan perintah pada sopirnya.

"Kita akan bahas banyak hal. Tentang pernikahan, proyek amal kita. Dan juga... seseorang."

Aku menoleh pada satu-satunya sahabatku. "Seseorang itu boleh siapa saja. Asal bukan dia."

Tita tergelak, "sensi amat Mbak? Seseorang kan bisa siapa saja. Bukan cuma 'dia'. Aku tahu kok, sejak enam tahum lalu nama itu terlarang masuk ke pendengaranmu. Jadi jangan salahkan aku jika tiba-tiba kalian ketemu, dan kamu bakalan mati berdiri karena terkejut. Luna, ada banyak hal yang kamu lewatkan."

"Aku tak peduli."

"Ya ya ya. Radya Alluna tidak peduli. Aku catat itu. Tapi, akibatnya tanggung sendiri ya?"

"Oh ya, soal proyek sekolah itu gimana? Aku bisa ikut buat melihat lokasinya kan?"

Aku dan Tita terlibat proyek amal mendirikan sekolah bagi anak yang tidak mampu dan juga yatim piatu, bekerja sama dengan lembaga pendidikan tempat Paman Ahmad mengajar di Kairo. Kebetulan paman mengajar di sekolah Indonesia yang berdiri di sana. Untuk itu juga aku pulang ke Indonesia, sebagai wakil dari pihak sana.

"Boleh. Bangunannya sepuluh persen lagi selesai. Inventaris dan tenaga pengajar udah ada. Tak lama lagi, peresmian dan pendaftaran akan di buka. Duh... nggak sabarnya..!"

"Baguslah kalo begitu, setelah peresmian dan kamu resmi jadi Nyonya Egi, aku bisa segera kembali ke Kairo."

Apa-apaan ini? Nih anak malah tertawa. "Kesambet ya?"

"Dengar ya Lun, kadang apa yang kita rencanakan dengan rapi dan 99 persen matang, tapi nyatanya bisa gagal karena satu persen kesalahan."

"Misalnya, kesalahan apa yang akan aku buat?"

Kita Tak Sama (LENGKAP) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang