Elang POV
Lucu.
Betapa tak mengertinya aku akan kelakuanku sendiri. Aku kekanakan sekali memang. Tapi akan aku ganti semua kejengkelan Luna padaku, akibat kekanakanku, dengan luapan cinta yang aku punya untuknya. Tentu jika kami sudah halal nanti.
Tak lama lagi. Tepatnya malam ini.
Bukan kabar baru bukan? Bahwa aku ingin menikahi mantan tetanggaku itu.
Sudah sejak enam tahun lalu, bahkan saat kami masih dalam lembaran buku yang berbeda. Lalu untuk apa aku menunggu lama? Tidak ada lagi yang membuat kami berbeda saat ini.
Maka saat Egi bilang bahwa Luna akan pulang, segera aku konfirmasi pada Paman Ahmad. Bahkan beliau menawarkan diri untuk mengantar Luna jika aku berniat menikahinya segera agar dia bisa menjadi wali untuknya.
Paman memang selalu menggodaku soal itu. Selama ini aku memang sering menghubunginya tapi tak membahas soal Luna sama sekali, hanya tentang hal yang belum aku pahami tentang aqidah. Tapi Paman Ahmad tahu bahwa aku masih menyimpan Luna di hatiku, meski aku bersikeras untuk tak membahas tentangnya.
Tapi akhirnya, seperti yang aku katakan, malam ini kami akan melangsungkan akad. Bukan sesuatu yang mendadak, tapi terencana dengan matang. Olehku dan Paman Ahmad. Bahkan Mama dan Papa pun tak tahu menahu, juga Bibi Salma.
"Ini serius? Kamu nikah?" Pria berwajah sama denganku sudah menanyakan ini berkali-kali. Lagi-lagi aku mengangguk membenarkan. "Emang Luna-nya mau?"
"Mau lah! Kan sudah Elang paksa!" barusan Mamaku yang menjawabnya. Dengan sok tahunya.
"Ma, Elang nggak maksa Luna." Kilahku.
"Luna yang bilang."
"Bisaan ya dia? Terus Mama percaya kalo Elang beneran maksa dia?"
"Percaya."
"Ish, Mama selalu belain Luna daripada anak Mama sendiri."
"Ini masih jauh nggak sih masjidnya?" Tanya Papa yang sedang mengemudi, menginterupsi perdebatan aku dan Mama.
"Bentar lagi, Pa." jawabku singkat.
Aku menarik nafasku dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Meski sudah aku rencana tapi gugup pasti ada. Aku tak pernah tahu, bahwa akan menikahi gadis yang aku cintai meski sejak lama niat ini terpatri dalam hati, tetap saja mendatangkan gugup sebesar ini.
Lun, kamu gugup juga nggak?
Namun gugup tak mematikan senyumku, apalagi saat mengingat lamaran kekanakanku tadi siang. Sebelum aku mengantar Luna ke rumah Tita.
Begitu aku memintanya menikah, dia malah menangis dengan kencangnya.
"Apaan sih Elang? Apa lagi ini?" Tanya Luna tadi sambil menutup wajahnya yang menangis sambil berjongkok di depanku.
Aku pun mensejajarinya, sekuat hati aku menahan untuk tak meraih jemarinya, seperti yang biasa aku lakukan dulu jika dia menangis.
"Aku serius, Lun. Mari menikah."
"Enteng banget ya ngomongnya? Berasa nggak ada dosa abis bikin anak orang nangis!"
"Kamu aja yang cengeng."
Dia berdiri lalu dari matanya yang basah tapi dia paksakan memicing ke arahku, aku tahu dia kesal. "Udahlah nggak romantis, bikin kesal pula! Mana mungkin lamaran kayak gitu bakal diterima?"
"Karena yang aku lamar itu kamu, ya pasti diterima. Kalo nggak, aku paksa!"
"Kan ngeselin?! Aku nggak mau!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Tak Sama (LENGKAP)
Fiksi RemajaNamaku Radya Alluna, cewek biasa yang nggk ada istimewanya kecuali kesayangan ayah bunda. Usia tujuh belas tahun, bentar lagi aku lulus SMU dan bercita-cita untuk meneruskan studiku ke luar kota. Iya, hanya luar kota bukan luar negeri tapi ada satu...