Epilog

2K 220 23
                                    

Elang POV

Rasanya ingin melompat saat mendengar Luna sedang hamil karena hati terlalu bahagia hingga bagai ada letupan kembang api di sana. Tapi mungkin aku baru akan bisa melompat beberapa bulan lagi. Iya barang kali begitu, karena sepuluh hari berlalu pasca operasi aku masih terlentang di atas brankar dengan gips di tangan dan kaki. Bahkan kami tak bisa hadir di pesta pernikahan Egi dan Tita.

Luna terlihat sedikit kecewa, tapi meski aku mengijinkannya pergi, dia tetap memilih tinggal di kamar perawatanku ini bergantian dengan Mama.

Tapi ngomong-ngomong, rasanya aku mulai rindu untuk memeluk istriku yang jual mahalnya minta ampun ini. Susah sekali menyuruhnya mendekat, meski pada akhirnya dia menuruti, tapi harus melewati negosiasi panjang yang membuatku nyaris menyerah. Seperti sekarang.

"Lun, sini dekat. Aku pengen cium anak aku." Ini kali ketiga aku memohon pada wanita bercadar yang sedang memberesi kotak bekas makanku.

"Nggak mau. Nanti mual lagi."

Jawabannya pun masih sama. Jangan bayangkan aku yang sedang sakit, terus dimanja-manja olehnya. Tidak sama sekali.

Belum apa-apa calon anakku sudah menguasai ibunya. Tiap kali Luna mendekat padaku, maka perutnya akan terserang mual. Sudah ketahuan 'kan, dia bakal sejahil siapa?

"Terus kapan aku bisa cium dia? Bahkan mamanya saja tak mau mendekat pada papanya kalo belum lelah merayunya. Nggak ngerti banget sih, kamu Dek. Papa agi akit!"

Luna tertawa.

"Kenapa tertawa? Apa kamu mulai kasihan padaku, Sayang?" Luna akan luluh, wajah melas sudah aku pasang sempurna. Seperti biasanya.

"Udah mau jadi papa loh kamu, Lang. Kurangin manjanya."

"Aku cuma nggak berdaya, Luna. Aku ingin peluk kamu sama anak kita yang mulai menguasaimu itu. Tapi tangan dan kaki belum bisa digunakan untuk itu. Kalian dong yang peluk pria tak berdaya ini." Tinggal hitung mundur dari angka 5 ke angka 1, maka teman masa kecilku ini akan mendekat.

Benar, sambil mengusap perutnya yang masih rata itu dia memberi pengertian pada janin berusia tiga minggu itu agar tak berulah. Dia memang masih segumpal darah, tapi ajaibnya, dengan mengelusnya terkebih dahulu, perut Luna tak akan mual, seolah anak itu mengerti perintah ibunya.

Luna duduk di sisi brankar lalu menggenggam jemari tangan kananku yang tak ikut patah, kemudian mengecupnya. Seperti biasanya, tangan kananku ini akan dia arahkan ke permukaan perutnya yang tertutup khimar lebarnya itu.

"Ucapkan salam padanya, Elang. Biarkan dia mengenali sentuhan papanya."

Mengusap perutnya memutar seperti ini, selalu berefek pada kinerja jantung dan kelenjar air mata yang memproduksi air agar pipiku basah. Masih nggak percaya rasanya, Allah titipkan dia pada kami secepat ini.

Aku dan Luna akan jadi orang tua atas izin-Nya.

Dulu, aku dan wanita ini hanya anak-anak yang tumbuh besar bersama. Mengenal hal baru bersama, termasuk rasa cinta kepada lawan jenis meski kami lahir dalam agama yang berbeda.

Selayaknya anak muda yang baru mengenal cinta, Tuhan pun kami kesampingkan. Bahkan hati orang tua kami.

Kami tak sama, tak membuat kami mundur karena banyak orang yang melakukan hal yang sama seperti kami. Bahkan ada yang tetap menikah meski keyakinan yang mereka peluk berbeda.

Aku pun dulu demikian. Aku melamar Luna pada Ayah Ilham, agar menikahkan kami di luar negeri. Maha Besar Allah, saat itu Ayah menolak dengan kelembutannya.

Saat itu aku hancur dan putus asa karena kecewa. Tapi betapa kekecewaan di masa itu sangat aku syukuri saat ini. Terima kasih Ayah, karena menolakku.

Kita Tak Sama (LENGKAP) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang