Takdir

1.1K 204 15
                                    

Pria ini beneran suamiku? Mungkin seringai jahil dan senyum aneh yang terpampang jelas di wajah Tita telah menjawab tanyaku pada diri sendiri ini.

Iya, pria yang sedang memegang tangan kananku untuk melingkarkan cincin di jari manisku ini adalah benar suamiku. Padahal tadi siang kami masih bertengkar, perang kata dan bahkan dia membuatku menangis berkali-kali.

"Cium dong, Luna-nya!"

Apa? Cium? Tante Bertha, bilang gitu 'kan tadi?

"Iya dong, cium!" Kali ini Tita yang akhirnya keluar suara dengan semangatnya.

"Mau nggak, Lun?" Siapa tadi yang bicara?

"Cium tangan aja!" dengusku.

"Iya gitu aja, lagian mau cium pipi atau bibir juga ketutupan. Nanti saja, kalo cuma berdua," bisik Elang di telingaku.

Terhormat sekali jawaban suamiku ini, aku hampir tak tahan untuk tak mencubitnya. "Cadarku tetap aku pakai meskipun saat tidur."

"Oh, benarkah? Kita lihat saja nanti."

Aku melirik tajam pria di sampingku ini, tapi dia malah memegang kepalaku. Lalu secara perlahan menarik ke bawah, kemudian mengecup dahiku sekali. Lalu tangan kanannya dia letakkan di atas kepalaku sedangkan tangan kirinya menengadah ke atas, lalu mulutnya merangkai kata berisi permohonan kepada Allah atas kebaikan bagiku.

Tanpa terasa, tetesan air lolos dari sudut mataku. Hingga doa itu selesai mengalun, Elang mengecup keningku berulang kali setelah aku selesai mengaminkan. Dia terasa ... sangat menyayangiku.

Oh, Allah ... Engkau sebaik-baik penulis takdir. Inilah yang Bunda pernah katakan dulu. Allah tak akan menulis sesuatu yang sia-sia.

Yakinlah, Allah tak pernah salah menulis takdir kita. Takdir Luna, takdir bunda dan ayah. Begitu juga takdirnya Elang.

Itulah ucapan Bunda di hari terakhir kami bertemu. Allah tak pernah salah, baik dulu maupun saat ini. Tentang aku dan Elang, Dialah sebaik-baik penulis takdir.

"Bunda ... " tak terasa mulut ini menyebut namanya. Sungguh, aku sangat merindukannya.

Di sela air mata yang belum mau berhenti menetes, pria yang kini resmi menjadi suamiku, menarik tubuhku dalam dekapannya.

"Kangen Bunda, ya?" tanya Elang. Aku pun mengangguk di sela tangisku di dadanya. "Jangan nangis, ntar dikira aku paksa kamu."

"Emang iya, 'kan?"

"Kapan itu?"

"Males jawab!"

"Oke baiklah, apapun itu. Yang penting kamu senang."

"Emang kamu nggak senang?"

"Nggak. Tapi sangat senang! Nanti akan aku tunjukkan seberapa senangnya aku, akhirnya bisa melabelimu Nyonya Elang Anggada."

Hatiku pun menghangat tiba-tiba karena terjadi letupan kebahagiaan di sana. Kita lihat saja nanti.

***

"Masyaa Allah tabarakallah. Ini bukan mimpi tapi serasa mimpi, Luna! Aku yang tiap hari sibuk ke sana sini nyiapin pernikahan, malah kamu duluan yang nikah." Tita berseru heboh. Sudah sejak tadi dia menahannya, aku tahu itu. Dia bukan wanita pendiam, apalagi pertunjukan yang dia saksikan bertema cinta, dan tokohnya adalah aku dan Elang.

Tak ada yang tahu kisah cinta kami, sepaham wanita ini. Yang kini sedang menatapku bahagia.

"Biasa aja, Tita. Malu dilihat tamu yang lain. Apalagi sama si Egi, calon suami kamu. Jangan gambreng gitu."

Kita Tak Sama (LENGKAP) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang