4. TINTA HITAM

6 3 0
                                    

Atur posisi membaca kalian senyaman mungkin, mau sambil rebahan juga boleh tapi lebih baik kalau duduk sambil senderan ya biar matanya tetap sehat.

Jangan lupa sebelum baca kasih vote dulu, sama komentarnya sedikit aja boleh kok di bagian atas xixi.

Happy Reading ❤️

•••••••••

Nara berjalan menuju pintu kamar saat ada seseorang yang mengetuknya. Ia sedang beristirahat sejenak, meregangkan otot-ototnya yang kaku dan mengistirahatkan tubuhnya yang lelah. Sepulang sekolah ia harus membereskan rumahnya yang semalam mengadakan acara syukuran. Banyak barang-barang seperti panci dan wajan yang berukuran besar yang sudah dicuci bersih dan harus ia simpan, juga beberapa piring yang harus kembali di simpan di dalam lemari.

"Buka pintunya, Ra!"

Nara bisa mendengar jika itu adalah suara ibunya, ia bergegas membuka pintu. "Iya, Bu. Kenapa?" tanya Nara.

Fatimah mengangkat sebuah piring kosong sembari menatap Nara tajam. "Kok habis? Kue yang semalem Ibu sisain ke mana?"

Kedua bola mata Nara membulat dan sedikit terkejut. Ia lupa memberitahu kepada ibunya bahwa kue yang semalam sudah ia berikan kepada Juan dan teman-temannya di sekolah tadi.

"Nara bawa ke sekolah, Bu." Nara menelan ludahnya kasar dengan rasa gugup yang menyelimuti hatinya. Ia takut dengan respon yang akan diberikan oleh ibunya.

"Ya ampun, Ra." Fatimah menghela napasnya panjang. "Adik kamu nangis nyariin kuenya, kok kamu nggak bilang dulu sih sama Ibu?" tanya Fathimah.

Nara menunduk. "Maaf, Bu. Tadi pagi Nara mau bilang sama Ibu tapi Ibu keburu udah berangkat ke sekolah."

Nara benar-benar mengakui kesalahannya kali ini. Seharusnya ia bangun lebih awal pagi tadi sehingga saat ibunya hendak pergi mengajar di sekolah ia bisa meminta izin terlebih dahulu untuk membawa makanan tersebut.

"Ibu juga tuh pingin kamu jadi anak yang baik sama orang lain tapi kalau urusan kayak gini harusnya bilang dulu sama Ibu, tanya dulu ini makanan masih mau ada yang makan nggak di rumah," ujar Fatimah.

Nara semakin menundukkan kepalanya. Ia benar-benar merasa bersalah kepada ibunya terlebih lagi adiknya, ia sudah membuatnya menangis karena kehilangan kuenya.

"Iya, Bu. Nara minta maaf ya," ujar Nara.

Fatimah menghela napasnya panjang kemudian mengangguk. "Besok lagi kalau mau apa-apa bilang dulu sama Ibu. Kamu itu kalau nggak dikontrol pasti boros," ujarnya sambil pergi meninggalkan Nara di depan pintu kamar.

Nara menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia kemudian menutup pintunya dan berjalan menuju dapur, menyusul ibunya tadi. Ia melihat adiknya yang sedang bermain ponsel milik ibunya dengan mata dan hidungnya yang memerah. Gadis itu baru saja berhenti menangis setelah bermain benda pipih itu.

"Eh bocil, lagi ngapain?" tanya Nara sambil duduk di samping adiknya, berusaha untuk menghiburnya.

"Apaan sih?! Pergi sana!" usir gadis itu yang kesal dengan Nara.

"Nisa, yang sopan, Nak!" tegur Fatimah.

Gadis bernama Nisa itu hanya menatap Nara tajam. Ia kembali melanjutkan bermain game di ponsel ibunya. Nara yang melihat itu pun memilih untuk menjauhkan wajahnya dari adiknya yang masih dalam mode ngambek itu. Ia tidak mau jika nantinya menjadi korban dari kemarahan adiknya itu. Jarak antara ia dan adiknya hanya terpaut tiga tahun. Meskipun adiknya sudah duduk di bangku SMP, tingkah lakunya masih kekanak-kanakan dan akan marah atau menangis jika kemauannya tidak dituruti.

JUANARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang