Spam komentar kalau kalian menemukan typo yang masih bertebaran dan menyesatkan.
Happy reading ❤️
***********
Dhimas tertawa melihat tingkah Fermas yang menjahili Fahmi dan Dion dengan cara memberikan bubuk cabai ke dalam minuman mereka berdua. Untung saja ia tidak memesan minuman kepada cowok itu.
"Lo kasih berapa bungkus, Mas?!" tanya Dion sambil melotot.
Dion dan Fahmi melotot sambil membuka mulut mereka lebar-lebar. Kedua tangannya mereka gunakan untuk mengipasi wajah mereka yang kini sudah memerah. Fermas benar-benar kurang ajar.
"Parah banget lo!" tunjuk Fahmi ke arah Fermas yang merasa tidak berdosa, bahkan laki-laki itu masih saja tertawa terbahak-bahak.
"Gimana? Mantap, 'kan?" Fermas mengusap air mata di sudut matanya dengan tawanya yang masih belum reda.
"HAH!!!" Fahmi pergi meninggalkan mereka untuk membeli minuman yang bisa meredakan rasa pedas yang membakar lidahnya.
Sementara itu, Dion teringat bahwa dirinya masih memiliki beberapa permen di dalam saku celananya. Tanpa menunggu lama ia langsung memakannya. Tenggorokannya saat ini benar-benar tercekat dan hidungnya terasa panas.
"Woy! Udah ketawanya, kena karma mampus lo nanti," ucap Dhimas sambil menepuk pundak Fermas, padahal dirinya sendiri masih belum bisa berhenti tertawa.
"Puas banget gue," ucap Fermas sambil menepuk-nepuk pahanya dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Bahagia lo di atas penderitaan orang lain? Untung gue nggak keselek tadi, kalau gue keselek terus bablas mau tanggung jawab lo?" tanya Dion sewot.
"Ya kalau lo meninggal ya gue seneng, 7 malem gue dapet makanan gratis cuma karena kirim doa buat lo," ucap Fermas kemudian tertawa.
Dion melempari Fermas menggunakan kacang kulit secara bertubi-tubi tanpa ampun hingga kacang kulit tersebut berserakan di jalanan.
"Pada nggak malu apa kalian dilihat sama banyak orang?" ucap Dhimas yang kini menggaruk tengkuknya sambil melirik siswi-siswi yang menatap mereka bingung.
Dion berhenti melempari kacang kulit pada Fermas kemudian melihat sekelilingnya yang ternyata banyak sekali murid yang menatap mereka. Mungkin karena posisi mereka yang berada di pinggir jalan dan di samping salah satu stand makanan yang membuat kelakuan mereka bisa dilihat oleh banyak orang.
Dion berdeham kemudian kembali duduk dengan tenang di kursinya. Jangan lupakan rasa pedas yang masih mendominasi mulutnya saat ini, dan di mana Fahmi? Mengapa laki-laki itu lama sekali membeli minuman?
"Fahmi mana, sih? Nggak tau apa kalau gue juga butuh minuman?" Dion mengedarkan pandangannya untuk mencari di mana keberadaan Fahmi ditengah banyaknya murid yang memenuhi jalan saat ini.
Untung saja saat ini mereka sedang berada di kampus 2 yang letaknya tidak tepat di jalan utama seperti kampus 1 yang di mana jalan lalu lintas berjalan dengan kepadatannya. Kawasan kampus 2 SMA Gemilang juga terbilang cukup sepi walaupun di sampingnya juga merupakan SMA Pelita Jaya dan SMP Tunas Bangsa.
"Itu Juan, 'kan?" tanya Dhimas saat melihat sosok laki-laki yang sedang berdiri di depan gerbang bersama dengan seorang gadis.
Dion dan Fermas memicingkan mata mereka untuk memastikan. Benar itu adalah Juan, dan dengan siapakah dia saat ini? Laki-laki itu berdiri di depan gerbang bersama dengan seorang gadis yang sepertinya bukan dari SMA mereka karena gadis itu memakai seragam yang berbeda dengan sekolah mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
JUANARA
Teen FictionNara pikir pertemuannya dengan Juan akan mengubah hidupnya menjadi lebih baik. Namun, dugaannya ternyata salah. Hal itu justru membuatnya kembali terjebak dalam perasaanya sendiri. Hinaan, caci maki dan pengkhianatan kembali didapatnya. Bukan tanpa...