BAB - 44. Kenapa aneh(?)

71 26 4
                                    

Dua motor melesat masuk kedalam gerbang sekolah yang sedikit lagi akan menutup. Seorang pria yang bertugas menjaga gerbang hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah laku para murid yang kerap kali terlambat datang. Untung saja mereka sempat masuk dan tidak menabrak gerbang sekolah.

Seolah tak terjadi apa-apa tiga orang pria turun dari motor yang selesai mereka parkir kan dengan tertib. Gerbang sudah akan ditutup tetapi masih banyak murid yang berkeliaran.

Salah satu dari mereka menghela napas lega melihat kelas belum dimulai. Hampir saja mereka terlambat dan berakhir dijemur di lapangan. Ini semua gara-gara Anska, cowok itu bersikeras untuk mengendarai motornya sendiri ke sekolah tetapi Arlan juga dengan keras menolak mengingat kondisi Anska yang masih tidak memungkinkan.

Alhasil Arlan dan Riga harus susah payah membujuk Anska agar mau dibonceng Arlan saja. Tentu bukan hal yang mudah untuk meluluhkan orang keras kepala seperti Anska. Tapi akhirnya dengan sedikit ancaman Anska mau menurut. Ya, meskipun wajahnya terlihat sangat terpaksa sekarang. Lagipula itu bukan hal yang baru bagi mereka yang setiap hari selalu disuguhkan raut masam Anska. Setidaknya lebih baik daripada harus melihat lebam baru di wajahnya lagi bukan?

"Huh untung aja ga telat," ucap Riga mengelus dadanya lega.

"Gue yakin kalo tadi Anska naik motor sendiri pasti nabrak gerbang," canda Arlan yang mendapat lirikan sinis dari Anska.

"Kalo lo nggak maksa gue, juga ga bakal telat," balas Anska tak terima.

"Gue ga yakin lo bisa bawa motor sendiri," ucap Arlan.

"Gue cuma luka bukan lumpuh," sahut Anska sinis.

"Tetep aja masih tepar," ceplos Arlan membuat Anska mendengus kesal.

"Heh udah rempong amat lo berdua," lerai Riga.

Beberapa saat kemudian bel sekolah berbunyi nyaring menandakan kelas akan dimulai.

"Semenjak ujian gue jadi parno sama bunyi bel," keluh Riga bergidik ngeri.

"Haha rasain lo belum belajar," ledek Arlan tertawa puas.

"Huaa ini semua gara-gara semalem. Anska lo harus tanggung jawab kasih gue contek--" belum sempat Riga menyelesaikan ucapannya tetapi Anska sudah lebih dulu melenggang pergi dengan cueknya meninggalkan Riga dengan wajah cengonya.

"Menyebalkan sangat menyebalkan," Riga menatap kepergian Anska dengan perasaan kesal.

Riga hanya bisa tertunduk pasrah, tamat sudah. Bagaimana bisa ia lupa untuk belajar karena kejadian semalam. Sudah tahu jika otaknya tidak bisa disamakan dengan kedua sahabatnya itu. Dan harusnya ia ingat kedua sahabatnya bukanlah rekan kerja sama yang baik untuk di ajak kompromi. Sepertinya ia mulai lupa diri akibat bergaul dengan orang-orang pintar seperti Arlan dan Anska.

"Mampus ga naik kelas," ejek Arlan. Riga tak dapat membalasnya kali ini, karena Arlan sudah jelas mampu tanpa belajar sekalipun. Kemampuannya tidak jauh beda dari Anska.

Arlan segera pergi menyusul Anska karena melihat sekitarnya sudah mulai sepi.

"Gue salah milih temen apa gimana sih sebenernya? Fiks iya gue salah milih huaa," dramatis Riga meratapi nasibnya.

"Dahla pasrah gue, yaAllah semoga soalnya turun level aamiin," Riga menghela napas pasrah dan dengan tak bersemangat ia berjalan menuju kelasnya.

***

Riga memijit kepalanya yang terasa pusing setelah usai mengerjakan soal. Ia duduk di bangkunya merasa lemas. Karena otaknya sudah bekerja cukup keras dan berimbas pada perutnya yang kosong. Riga memandang kedua sahabatnya yang duduk tepat di belakangnya. Iya, saat ujian Anska dan Arlan sepakat untuk duduk berdampingan agar Riga tidak mencontek, sungguh tidak adil bukan? Di meja itu ada sepasang otak emas sekaligus. Sedangkan Riga? Kepalanya hampir meledak akibat soal yang tak sesuai ekspetasinya.

Frozen Heart [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang