2. Lukisan

750 168 32
                                    

PRANGG!!

Baru saja Saskia melangkahkan kakinya memasuki rumah, bunyi pecahan dari suatu barang sudah membuatnya terkejut.

Ia mengela napas. Suara pecahan itu sudah tak asing di gendang telinganya. Dengan sigap, Saskia langsung meraih AirPods di tasnya, lalu memasangkan pada kedua telinganya. Dentuman musik dan suara khas milik salah seorang vokalis langsung berlomba - lomba memenuhi telinga Saskia ketika gadis itu menekan musik secara acak.

PRANG!! PRANGG!!

Bunyi itu lagi. Dalam kebingungan ia melihat dan mendengar suara tangisan sang Mama yang pecah. Walaupun ia sudah mengeraskan volume musik nya, namun suara menyayat hari dari sang Mama masih terdengar jelas. Dia tak tahan, dengan kasar ia melepas AirPods di telinganya.

Mata Saskia nanar menatap Papa dan Mama yang tengah adu mulut. Dia sudah terbiasa menyaksikan pertengkaran kedua orang tua nya. Saskia berlari memeluk Mama. Bertetes - tetes air mata mengalir dari kelopak mata Mama, pipi yang merah lebam, nafas yang naik turun tak tentu. Dia menatap ke arah Papa. Dalam genggaman Papa, ada sebuah piring keramik. Mata Papa merah, seakan menyiratkan amarah dari tatapannya yang tak tenang itu.

PRANGG!

Piring dibanting ke arah bawah. Suara tangis Mama semakin terdengar pilu. Untuk beberapa waktu. Tak ada kata yang terlontar. Semuanya diam tak berbicara. Hanya ada tatapan kosong dan degupan jantung yang lebih cepat. Waktu yang mencekam, Saskia membuka suara.

"Kenapa kalian bertengkar lagi?"

Saskia masih memeluk Mama dengan begitu erat. Rintih tangis Mama tak lagi sekeras tadi.

"Anak kecil tak tahu apa - apa!" Papa membentak menatap Saskia tajam. Tatapan tajam penuh amarah terukir dalam raut wajah pria paruh baya itu. Beliau berbalik badan dan bertolak pinggang.

"Saskia, lebih baik kamu masuk ke kamar. Ini urusan Mama dan Papa!" Suara Mama berhasil membuat Saskia melepaskan pelukannya pada tubuh wanita paruh baya itu.

Saskia tersenyum getir, keluarganya yang semula harmonis bisa hancur seperti ini. Tak ada lagi Papa yang menjadi Super Hero nya, tak ada lagi Mama yang selalu bersikap hangat padanya. Sekarang hanya ada Papa yang temperamental dan Mama yang pemarah. Semuanya berubah, hanya karena kehadiran orang ketiga di antara Papa dan Mama.

Tanpa menunggu diperintah dua kali, Saskia segera menghapus air matanya yang mulai menetes berjatuhan lalu melenggang pergi memasuki kamarnya.

Saskia memasuki kamarnya dengan perasaan sedih mengingat pertengkaran Mama dan Papa. Dia meletakkan tas selempangnya di atas nakas. Dia juga meletakkan kotak usang tersebut pada nakas meja yang sama pula.

"Kenapa masalah keluargaku serumit ini, Tuhan?" Saskia mendesah perlahan duduk di atas ranjangnya seraya menatap langit - langit kamar.

Saskia berharap Tuhan mendengar pertanyaaannya. Tatapan nanar ia arahkan pada langit - langit kamar.

Langit - langit. Saksi bisu dari rasa kegelisahannya karena Tuhan tak menjabah doanya. Setetes air mata jatuh, namun segera ia hapus dengan kasar.

Saskia mengalihkan pikirannya, enggan mengingat sesuatu yang menbuatnya sedih. Dia kembali mengingat, setidaknya ada Rey dan Daisy yang akan selalu menghiburnya.

Pandangan Saskia teralih. Dia menatap kotak usang yang berada di atas nakas. Seketika rasa penasaran kembali muncul berkobar.

Dia beranjak berdiri untuk mengambil kotak tersebut. Dia menarik kursi lalu mendudukkan diri disana.

Saskia menatap kotak itu dengan seksama. Tangannya tergerak untuk membersihkan debu - debu yang berada di sela - sela kotak usang tersebut. Dibukanya secara perlahan. Saskia menatap isi kotak tersebut dengan pandangan yang sulit dijelaskan.

K dan STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang