🔘 Benih Cinta di Ladang Ganja

386 65 3
                                    

Ayam berkokok, tanda pagi kembali. Kinasih bangun dari tidur sejenaknya, bangkit untuk duduk, dan meregangkan badannya yang terasa cukup pegal. Matanya melirik ke samping, di mana sang pangeran itu masih tertidur pulas.

"Ini gue harus masak gitu nggak sih? Astaga ... udah kayak bininya aja gue," gumamnya pelan lalu beranjak bangun dari dipan.

Kinasih mencepol asal rambutnya, berjalan keluar dari kamar untuk menuju ke dapur. Kinasih berkacak pinggang sembari matanya menatap sekeliling.

"Mau masak apaan?" tanyanya bingung, "ada beras nggak sih?"

Ia berjalan, membuka penutup satu persatu. Namun nihil, tak ada sebutir pun beras yang ada. Hingga ia teringat akan satu hal. "Lah goblok. Kemarin kan bawa beras."

Kinasih berbalik, namun keningnya membentur benda keras yang membuat Kinasih mengumpat karena refleks. "Anjir!"

Gadis itu mengusap pelan keningnya dan mendongak. "E-eh."

Sial. Kinasih lupa caranya bernapas dan berbicara dengan baik itu seperti apa. "S-sudah bangun?"

Demi Tuhan, ada apa dengan Kinasih?

"Ya," jawab Alaska. "Kau mau apa?"

"Memasak."

Alaska hanya mengangguk sebagai jawaban, kemudian bergeser ke samping untuk mempersilakan Kinasih yang hendak lewat. Alaska terdiam menatap punggung Kinasih yang sudah menjauh perlahan. Ia bergumam seraya menyentuh dadanya. "Ada apa dengan jantungku?"

***

"Kau mau di sini atau ikut denganku?" tanya Alaska pada Kinasih. Posisi mereka berdua saat ini berada di teras rumah, bak seorang istri yang hendak melepas pergi suami bekerja.

Kinasih balik bertanya, "Ke mana?"

"Ladang."

"Lelaki yang kemarin itu?"

"Ya," jawab Alaska. "Jadi bagaimana? Ikut tidak?"

Kinasih terdiam beberapa saat. Berpikir harus mengiyakan atau menolak. Jika Kinasih ikut, mungkin ia juga bisa sembari mencari di mana anak kecil yang membawanya ke sini dan lift itu. Namun di lain sisi, Kinasih tidak begitu suka cuaca panas. Bukankah hamparan ladang akan begitu menyengat kulitnya?

Tapi ... Kinasih juga tidak berani di rumah sendiri.

"Aku ikut," jawab Kinasih setelah berpikir beberapa saat.

"Tutup pintunya."

Mengangguk, Kinasih menuruti titah Alaska. Setelah dirasa beres, Kinasih dan Alaska berjalan beriringan. Mereka mengangguk dan tersenyum ramah pada orang-orang yang menyapa mereka. Untunglah, penyamaran mereka tidak ada yang mencurigai hingga detik ini.

Letak ladang dan rumah yang Alaska beserta Kinasih sewa tak terlalu jauh. Hanya membutuhkan waktu sepuluh menit untuk sampai. Di perjalanan, Kinasih menatap sekeliling, matanya mencari-cari dan menelisik barangkali ia menemukan lift yang membawanya ke sini atau paling tidak ... anak kecil itu.

Alaska yang menyadari Kinasih tidak hanya berfokus pada tujuan perjalanan mereka saat ini lantas menoleh pada gadis itu. "Mencari apa?"

Kinasih terlonjak kaget, ia bahkan sempat melompat kecil karena terkejut. "Mencari pintu yang membawaku ke sini."

Alaska menghentikan langkahnya, membuat Kinasih ikut berhenti. "Aku masih belum percaya dengan pintu yang kau maksud."

Kinasih menghela napasnya lelah, kepalanya ia dongakkan ke atas, menatap langit biru cerah pagi ini. "Entahlah ... aku juga susah untuk percaya. Aku selalu berpikir bahwa ini adalah mimpi, tapi ketika kucubit lenganku, itu terasa sakit. Aku hanya berharap agar cepat kembali ke dunia asliku."

Another World [Ending]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang