🔘 Empat Mata

270 56 4
                                    

Kinasih berjalan cukup pelan ketika kedua bola matanya menatap sosok yang tak asing di depannya. Meski di tengah malam yang cukup gelap, tapi Kinasih hafal betul bentuk siapa di depannya ini.

Ia semakin mendekatkan langkahnya, mempersempit jarak di antara keduanya, hingga tangan kanan Kinasih yang mulai terulur menyentuh bahu seseorang itu.

Responnya tak sama seperti siang tadi ketika Kinasih melakukan hal serupa padanya, gadis di depannya ini—Enara, sahabatnya—hanya menoleh sebentar dengan raut datar.

Kinasih duduk di sebelahnya, tersenyum kecil sembari mengusap punggung Enara. "Kenapa?"

Hanya gelengan yang Kinasih dapatkan dari sang sahabat, sebuah tanda tidak apa-apa. Tapi, Kinasih tahu, Enara tengah menyembunyikan sesuatu padanya. Berteman dengan Enara tidak hanya sehari dua hari, membuat Kinasih betul-betul paham dengan sifat gadis itu.

"Gue tau lo lagi kenapa-kenapa," kata Kinasih yang membuat Enara menghela napasnya kasar.

"Na ...," panggil Kinasih.

"Hm?"

Kinasih tak menjawab dehaman Enara, ia justru menghela napas cukup panjang dan mendongak, menatap taburan bintang di atas sana.

"Bintangnya bagus ya, Na," kata Kinasih tiba-tiba.

"Tapi sayang, suasana hati gue lagi nggak sebagus suasana malam ini," sahut sahabatnya.

Kinasih menoleh, menatap Enara dari samping yang kini mendongak memandang langit malam. Jemari lentik Kinasih bergerak menyentuh punggung tangan kanan Enara, mengusapnya perlahan, harap-harap ia dapat menyalurkan kekuatan kepada sahabatnya.

"Gue yakin lo kuat, dan keputusan lo buat nolak permintaan Ratu Zemira itu udah tepat, Na. Cukup gue yang memperumit masalah dengan nikah sama Pangeran Alaska. Lo nggak usah, Na, lo nggak usah ...."

Enara mengangguk. "Kina, gue pengen cepet-cepet balik ke dunia kita. Tapi anak kecil itu susah banget buat ditemuin, sekalinya ketemu ... eh nyeremin banget tadi siang. Gue bingung. Apa kita nggak bakalan bisa balik ke dunia kita?"

"Hust! Mulut lo!" kata Kinasih, "jangan ngomong begitu. Bisa-bisa. Kita pasti bisa balik ke dunia kita. Sabar bentar, pasti ada jalan. Lo percaya kan kalo Tuhan nggak akan pernah kasih cobaan di luar kemampuan hamba-Nya?"

Enara mengangguk, mencoba tersenyum.

Sebuah suara yang cukup berat hadir di tengah-tengah obrolan Enara dan Kinasih, membuat keduanya menoleh ke sumber suara. Berdiri Pangeran Alaska dan Kasim Rezka di sana. Melihat Kasim Rezka, membuat Enara mengalihkan pandangannya.

"Kenapa di luar?" tanya Pangeran Alaska yang jelas-jelas ditujukan kepada istrinya, Kinasih.

"Menemani Enara," jawab Kinasih seadannya.

"Sudah selesai?"

Kinasih mengangguk.

"Kembali ke kamar. Sudah malam, saatnya kau tidur, Kinasih."

Kinasih melirik ke arah Enara yang ada di sampingnya, gadis itu mengodekan kepada Kinasih untuk menuruti perintah suaminya itu.

"Pangeran, bolehkah untuk malam ini aku tidur dengan Enara?" tanya Kinasih meminta izin, membuat Enara menyenggol lengan sang sahabat, meminta penjelasan.

"Tidak," jawab Alaska tegas.

"Aku rindu bersama Enara, Pangeran. Izinkan aku ... malam ini saja," mohon Kinasih dengan kedua mata yang berkaca-kaca. Menatap dua manik legam milik sang istri membuat Alaska tidak tega.

"Tidur di mana? Kamar dayang?" tanya Alaska yang langsung diangguki Kinasih. "Tidak. Kuizinkan kamu dengan Enara malam ini, tapi tidurlah di kamarku."

"Lalu Pangeran?"

Another World [Ending]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang