🔘 Keterkejutan

258 57 0
                                    

Puncak dari mencintai adalah mengikhlaskan, dan hal ini tengah dirasakan oleh Enara. Harus melihat seseorang yang dicintainya menikah dengan orang lain benar-benar menyayat hatinya. Tetapi Enara sadar, ia menyadari posisinya di sini. Enara bukan siapa-siapa. Ia hanya gadis asing yang terlempar di dunia asing ini bersama Kinasih. Enara berusaha merelakan, meski berat, namun ia harus melakukannya.

Helaan napas keluar begitu saja dari kedua lubang hidungnya. Dengan gerakan pasti dan sedikit rasa malas dalam dirinya, Enara mengangkat beberapa kudapan yang akan digunakan sebagai jamuan pesta pernikahan sang kasim dengan keponakan Ratu Leteshia—Putri Kuna.

Belum, acara pernikahan belum dimulai. Seperti halnya pernikahan Kinasih dan Pangeran Alaska beberapa waktu lalu, jika satu hari sebelum pernikahan akan diadakan sebuah pesta, dan hari inilah tepatnya.

Enara berjalan sedikit malas, langkah demi langkah yang diciptakannya pun terasa berat, seakan di kedua kakinya terdapat sebuah beban yang cukup berat. Helaan napas kembali keluar, entah mengapa ... Enara merasa mood-nya sedang buruk-buruknya. Rasanya, Enara ingin di kamar dan tidur seharian saja.

"Miris banget jadi gue," gerutunya, hampir menangis. Ia melirik ke sekitar, dan betapa terkejutnya ia ketika melihat sosok yang tak asing di matanya. Seseorang yang tengah menjadi incaran Enara dan Kinasih selama ini.

Ya, anak kecil itu! Anak kecil itu ada di sini!

Enara buru-buru membalikkan badan dan melihat seorang dayang yang tak membawa apa-apa. Buru-buru, Enara menyerahkan kudapan yang dibawanya pada dayang itu, membuat sang dayang terlihat bingung. Sebenarnya ingin protes, tapi Enara sudah lebih dulu mengangkat gaun dayangnya dan berlari cukup kencang.

"Gue nggak boleh kehilangan jejak si bocil itu lagi!" katanya sembari berlari. Kecepatan larinya tak terkendali, seolah sebuah angin yang melesat begitu cepat, membuat siapa pun segera menyingkir ketika Enara lewat.

"Woi, bocil. Berhenti lo!" teriak Enara keras, tapi anak kecil itu justru terus berjalan cukup santai dengan seorang pria di sampingnya.

"Ah, dia nggak akan mudeng bahasa gue," katanya lagi setelah menyadari satu hal. Ia masih terus berlari, tak memedulikan jika napasnya akan habis sekalipun.

"Hey, stop! Tolong berhenti!" teriak Enara lagi, mengundang tatapan tanya—meskipun sedari tadi ia berlari sudah menjadi pusat perhatian, sih—orang-orang di sekitarnya.

Dua orang incarannya—ah, tidak-tidak, hanya anak kecil itu yang Enara incar—pun berhenti dan menoleh. Enara memelankan larinya ketika yang diincarnya sudah berhenti berjalan dan menoleh ke arah Enara.

"Iya, kali—an," kata Enara dengan napas terputus-putus. Sialan, kalau begini caranya napas Enara akan benar-benar habis. Bagaimana tidak, Enara berlari tanpa adat sedikit pun, benar-benar sekencang angin ribut.

"Ada apa, nona?" tanya sang pria yang berdiri di samping anak kecil itu.

Mata Enara terarah ke anak kecil itu, ia berjalan mendekat, namun si anak kecil justru menatap Enara dengan datar dan cukup tajam. Sebetulnya Enara merinding sendiri, namun ia mengalahkan ketakutannya itu. Bagaimanapun, ia harus mencaritahu dari si kecil di depannya ini.

"Kau ...," kata Enara. Sebentar, napas Enara masih belum beraturan. "Kau anak kecil itu, kan?"

Pertanyaan ambigu Enara justru dibalas dengan kerutan dahi dari anak kecil di depannya. "Apa maksudmu?" tanya si anak kecil tidak santai.

"Nak, sopan sedikit. Dia lebih tua darimu," kata pria di sebelahnya.

"Kamu anak kecil yang membawaku dan temanku ke dunia ini, kan? Ayo ngaku, aku masih ingat betul wajahmu. Bahkan pakaianmu ... oh, tidak, benar-benar sama persis. Cepat katakan padaku, bagaimana aku bisa kembali ke dunia asliku?" tanya Enara tanpa henti, ia benar-benar tak sabar. Dan sungguh, mata dan ingatannya masih betul-betul jelas, ia masih ingat betul bagaimana bentuk anak kecil yang berada dalam lift itu. Dan ini ... di depannya adalah anak kecil itu.

Another World [Ending]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang