11 | BWS

1K 199 28
                                    

Rose sudah pulang dari sekolah satu jam yang lalu dan sekarang dia sedang duduk di meja belajarnya sembari berpikir bagaimana dia bisa melakukan sihir. Iya, tadi waktu pelajaran Madam Edenia, entah bagaimana dia bisa dengan mudahnya meracik rempah untuk menyembuhkan orang dari racun. Padahal seingatnya, dia sangat buruk dalam hal obat-obatan di sekolah. Ah, dia sangat pusing sekarang. Dan juga .... lapar.

Dia berdiri, hendak menyusul Sakura yang sedang di bawah mengambil makanan. Dia jelas tidak ingin mati kelaparan disini, di dunia yang aneh ini. Dengan piyama khas Breatice, Rose keluar kamar.

Baru lima langkah keluar kamar, matanya dibuat mengernyit di sudut koridor asrama. Dia seperti melihat seseorang di ujung sana. Dan sepertinya .... terluka? Dengan segera, dia menghampiri orang itu. Setelah sampai, Rose agak terkejut karena orang itu ternyata laki-laki. Dan yang membuatnya terkejut lagi, bagaimana bisa seorang laki-laki berada di asrama perempuan?

Takut orangnya keburu mati gara-gara dia sibuk berpikir ini itu, Rose berjongkok dan memeriksanya.

“Hei, kamu nggak papa?” tanya Rose. Laki-laki itu meringis saat Rose tak sengaja memegang tangannya yang penuh dengan luka.

“Eh maaf!” Reflek, Rose langsung mengangkat tangannya.

“An-an—”

“Apa? Anandhi? Kamu suka film Anandhi juga? Sama dong. Tapi sayang, sekarang aku nggak bisa nonton, disini nggak ada tv sih.” Terserah Rose aja ya, bisa-bisanya dalam situasi kaya gini malah .... ah sudahlah.

Dalam ringisan, orang itu tampak mendengus tak paham Rose bicara apa.

“An-antar aku ke asrama laki-laki.” ujar laki-laki itu.

“Hah? Eh? Aduh .... aku nggak bisa gendong tapi. Aku bawa ke kamar aja ya, gimana?” ujar Rose. Dia tak tega melihat laki-laki itu kesakitan dengan luka yang cukup parah.

“Eh tapi kan nggak boleh ya.” gumam Rose mengingat peraturan di asrama yang melarang laki-laki masuk ke asrama perempuan, begitupun sebaliknya.

Laki-laki itu terus meringis membuat Rose menggigit jarinya kebingungan.

“Aku harus gimana nih? Kalo kamu mati terus aku jadi tersangkanya gimana dong?” ujar Rose ketar-ketir. Masalahnya dia orang terakhir yang bersama dengan laki-laki itu.

“Kamu pergi aja sana. Nggak membantu.” ujar laki-laki itu kesal karena Rose yang terus mengoceh tanpa berniat menolongnya yang seperti akan sekarat itu.

“Heh! Nggak tau aja aku nyamperin kamu kesini padahal aku lagi lapar-laparnya! Masih syukur kamu nggak aku makan!” seru Rose yang kesal karena laki-laki itu yang malah mengata-ngatainya tak membantu. Yang sebenarnya ada benarnya juga sih.

“Aku tinggalin aja kali ya biar kamu mati, seru kayanya.” lanjutnya lagi.

Rose berdiri, berniat meninggalkan laki-laki itu sendirian walaupun tak tega. Tapi dia yakin, laki-laki itu pasti akan memanggilnya. Ya karena siapa lagi yang akan menolongnya di koridor yang sepi orang ini?

Satu langkah.

Dua langkah.

Tiga langkah.

Rose menghentikkan langkahnya. Kok dia nggak manggil aku sih? Batinnya.

Dia menoleh dan satu detik kemudian dia berlari ke arah laki-laki itu yang kini terbaring tak sadarkan diri. Dia menepuk-nepuk pipi laki-laki itu, berusaha menyadarkannya.

“Bangun dong aduh! Aku nggak mau masuk penjara huhu! Gimana ini? Sakura! Siapapun tolong! Ada yang mati huaa! Eh mati belum sih ini?” seru Rose, berharap ada yang datang membantunya. Tapi nyatanya nihil. Ah iya, di jam sekarang semua orang sedang dibawah, persiapan makan malam. Tapi masa iya tidak ada satupun orang disini?

𝐁𝐫𝐞𝐚𝐭𝐢𝐜𝐞 𝐖𝐢𝐭𝐜𝐡 𝐒𝐜𝐡𝐨𝐨𝐥Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang