Finally epilog. Semoga ini cukup dan bisa diterima.
Selamat membaca.
______________
Sesuatu yang tak terduga. Youra berpikir itu ilusi ketika mendapati panggilan masuk ke ponselnya di pertengahan malam. Ibunya menelpon."Youra."
Suaranya memanggil lembut. Air mata Youra sudah jatuh ke pipi, suara sang ibu menyentuh hatinya teramat dalam.
"Bagaimana pekerjaannya? Sudah pulang kerja? Apa ibu mengganggu telepon jam segini?"
Youra tak sanggup membuka suara. Satu isakannya lolos walau sudah coba ditahan.
"Kenapa nangis? Jangan nangis," ibunya berucap begitu di seberang, padahal Youra dengar sendiri jika ibunya juga menangis.
Pasokan udara di sekitar dihirup dalam-dalam. Youra mencoba untuk mengontrol dirinya. Perlahan wanita masih dalam balutam chef coat itu mengambil duduk di sisi ranjang.
"Baru pulang dari kerja, Ibu," balasnya kemudian.
"Sudah makan malam? Sekarang jam berapa di Paris?" Suara ibunya kepalang lembut.
Youra menarik senyum. "Sudah, Bu. Tadi makan malam di tempat kerja. Sekarang sudah jam sebelas di sini. Ibu kenapa bangun pagi sekali?"
"Hanya terbangun saja. Tiba-tiba kepikiran Youra."
Youra diam. Tak menjawab cukup lama karena air matanya jatuh lagi. Suara ibunya membuat rindu. Ingin sekali Youra memeluk ibunya sekarang juga, tetapi jarak memang tak bisa ditolerir.
"Bersihkan diri, mandi dengan air hangat. Setelah itu istirahat pasti lelah sehabis kerja," ucap ibunya lagi.
Youra tertawa tipis mendengar itu. Hatinya terisi penuh malam ini. Begitu melegakan dan hangat.
"Iya, Bu," jawabnya sambil menyeka sisa air mata di pipi. "Ayah apa kabar?"
"Ini Ayah di sebelah Ibu," jawab ibunya. "Youra bersihkan diri dulu, sana. Ibumu memang suka ganggu telepon malam-malam." Ayahnya menimpali di seberang sana.
Youra tertawa. "Youra suka sekali dapat telepon dari Ibu dan Ayah. Ibu, Ayah jaga kesehatan. Youra pasti kembali secepatnya."
Senyuman Youra sering muncul sejak mendapatkan panggilan dari ibunya. Suatu kebahagiaan yang tak terduga.
"Youra jadi rindu," ucap Youra lagi sambil menengok ke arah Eiffel lewat jendela kamarnya yang terbuka.
Youra sadar bahwa dirinya tak jauh berbeda dengan Eiffel. Sendirian. Selalu sendirian, dan selalu mencoba untuk berdiri tegak, tanpa yang lain tahu bahwa wanita itu sesungguhnya rapuh.
"Nanti kalau sudah ada waktu, Ayah susul ke sana," suara ayahnya terdengar lagi.
"Benar, ya, Ayah?" Youra berubah jadi semangat. "Youra yang urus penerbangan Ayah dan Ibu. Ayah, Ibu harus lihat restoran yang Youra bangun di sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ramyun Bakery [Seokjin]
FanfictionChoi Youra benar-benar ingin memindahkan kedai rotinya ke tempat lain yang tentram, tentunya tanpa Han Seokjin dan restoran ramen milik pria itu. Sial sekali dirinya yang harus setiap hari melihat toko ramen di seberang bakerynya, sesekali juga mend...