29

157 26 4
                                    




Nick kurang tahu apakah ini boleh dibilang balas dendam atau tidak.





bragh!

"Watch yout step!"

"What your business?"





Gadis blonde yang merasa tertabrak barusan hendak melayangkan umpatan sebelum sadar milik siapa sepatu putih di depan wajahnya. Dia menahan diri, what your business katanya? Apa dia pikir koridor sekolah ini milik buyutnya?

Dibalik kekacauan kecil ini, Nick mendengus, merapikan bahu seragamnya dengan ekspresi jijik. Matanya melirik ke bawah, mencari tahu siapa yang begitu kurang kerjaan menganggu niat baiknya sore ini.




"Oh, si Mata Hijau."

"Paula—we've been seeing each other for a long two years and you still call me by the same nickname?" Gadis itu mengoreksi namanya seraya mengerutkan dahi, berdiri membereskan barang bawaannya. Mengaku cukup terbiasa dengan kelakuan teman sekelasnya ini meski beberapa kali masih kaget dengan sifat tak acuhnya.

"Why? Am I gonna get paid for that? Memorize the names of the people in the class?" Nick menyusupkan kedua tangannya di saku celana. "Well, I guess not."

Paula lagi-lagi menelan umpatan.

Lelaki ini, mau seberapa jauh ia menggertak, aura dalam dirinya nyatanya lebih kuat menahan orang-orang sejenis Paula untuk menyerang balik.

"Apa yang kau lihat? Minggir."

Respon Paula yang sedikit lambat membuat Nick berdecak. Ia maju tanpa menggeser posisi kaki, menabrak bahu gadis itu terang-terangan. Tidak tahu saja, jika dia terlambat beberapa menit meladeni kecelakaan kecil ini, rencananya bisa gagal.

Dan siapapun bahkan gadis yang mengaku bernama Paula ini tentu saja tidak dapat bertanggung jawab.

Sekolah tidak seramai pagi. Ekstrakurikuler sudah selesai sekitar dua puluh menit lalu. Koridor mulai penuh dengan mereka yang bergegas pulang.

Nick baru merasakan menunggu hari itu cukup melelahkan setelah pekan ini.

Hari selasa dan dia harap tergetnya masih di tempat.



Namun sepi tatkala matanya melongok sekilas ke pintu kaca ruang klub musik. Lampu di pojok ruangan masih terang—tapi yang utama sudah padam. Malas berspekulasi, tangannya meraih gagang pintu dan tanpa sadar melepas napas lega saat tahu itu belum dikunci.

"Aya—eh?"

Dua insan itu jadi saling pandang aneh. Nick masih dengan posisi setengah berbalik dari pintu depan. Sedangkan perempuan yang berada di sana sebelumnya hanya bengong menggendong gitar di pangkuan. Gadis itu duduk di bagian bayangan pencahayaan, membuat Nick tidak bisa melihat jelas siapa di sana—lagipula dia juga tidak akan mengenalinya meski sering bertemu sekalipun.

Tangannya masih mengepal di gagang pintu ketika ia melirik sekitar dan bertanya. "Are you here alone?"

"Iya?"

"Dimana Shannon?"

Gadis itu diam sebentar. "Dia ada perlu, jadi pergi duluan."

"Dia akan kembali?"

dimensionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang