13

329 91 27
                                    





Aya mendongak kaget saat dirasa dahinya tersengat aliran dingin. Gadis itu memekik, hampir mengomeli orang yang berdiri dan menjadi tersangka kekagetannya di depannya.

"Haus?"

Aya mengangguk kecil menahan diri, menerima sodoran minuman dingin dari Sia. Gadis itu jadi bergeser, memberikan tempat duduk di tribun yang sedang ia duduki.

Sebagian anak kelas mereka sudah berlarian ke kantin sekolah, sekedar membeli minuman dingin sebagai pelepas dahaga, pelajaran olahraga kali ini cukup menguras tenaga. Sia yang berhasil kabur duluan jadi tersenyum bangga saat teman-temannya baru datang, ia bisa lebih leluasa membeli minuman karena belum ada yang antri.

"Aku kira orang iseng," ujar Aya sambil memajukan bibir, mulai meminum minuman dari Sia. "Terima kasih."

"Bagaimana Mark?"

Aya menoleh, mengangkat satu alis heran. "Bagaimana apanya?"

"Menyebalkan? Kalian jadi dekat akhir-akhir ini." Sia terkekeh, memandangi lapangan sekolah sambil membuka minumannya sendiri.

Aya menipiskan bibir, menyesap sekilas rasa minuman yang masih menempel pada bibirnya. "Dia—baik?" jawab gadis itu ragu. "Meskipun menyebalkan juga jika sudah banyak tingkah."

Sia mengangguk-angguk paham, masih setia mengawasi keadaan lapangan yang sudah berangsur sepi karena anak kelas yang malas mengantri sudah ikut beranjak ke kantin seperti anak-anak lain—yang sudah duluan ke kantin. "Bagaimana liburan musim panas? Jadi ke Manchester?"

Bibir Aya melengkung ke bawah perlahan. "Entahlah, belum pasti juga."

Badan Sia tiba-tiba menegak, ia memekik. "Astaga, aku harus mengurusi kompetisi minggu depan!" gadis itu berdiri, meminum minumannya segera. "Aku harus ke ruang guru, mau ikut?"

Aya memajukan bibirnya lagi, jadi menarik kaki yang semula duduk selonjoran di tangga tribun jadi duduk bersila manis sambil meletakkan minumannya di pangkuan. "Anginnya sedang bagus, sebentar lagi juga jam istirahat. Kau duluan saja," tolak Aya halus.

Sia mengangguk, turun duluan dari tribun.

Garis wajah Aya berubah begitu saja saat Sia sudah memalingkan wajah dan berjalan lurus ke arah ruang guru. Aya mendesah berat, jadi menoleh penuh ke titik terakhir Sia terlihat di ujung lapangan. Ia jadi ingat, saat junior high school ia adalah sosok seperti Sia, sosok ambisius dengan agenda kompetisi dimana-dimana.

Tapi, semua berubah ketika ia masuk senior high school. Dirinya jadi lebih menyibukkan diri pada banyak organisasi, mulai jadi ketua acara-acara sekolah, hingga jadi wakil organisasi inti sekolah. Dia bahkan bekerja paruh waktu. Sebagai balasan, keunggulannya saat junior high school jadi hilang begitu saja. Nilainya jadi banyak yang remedial, terkadang lupa mengerjakan tugas, dan kelalaian-kelalaian lainnya soal akademik.

Aya mendesah berat sekali lagi, sadar jika ia selalu berlebihan dalam mengambil keputusan di satu situasi.

Meski jadi seorang ambisius pada jamannya, Aya tetap aktif meski hanya pada salah satu komunitas sekolah. Tapi—suatu hal jadi mengubah pola pikirnya. Jadi pintar dan aktif di salah satu organisasi ternyata belum cukup.

Aya mengulum bibir, menikmati angin dari pepohonan di sekitar lapangan sambil menyesap kembali minuman di pangkuan.




Sepersekian detik setelah menyesap minumannya, gadis itu menoleh ke kiri cepat saat dirasa oleh tengkuknya hembusan angin dari jarak dekat. Mata Aya membulat sempurna, dengan jarak sedekat itu, Aya bisa melihat jelas sosok dengan bekas luka di pelipis yang sembuh-sakit-sembuh-sakit ini.

dimensionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang