warning: chapter ini rada panjang sepanjang kasih ibu. take ur seat and enjoy!
Minggu, pukul setengah sembilan.
Aya kembali mengemasi baju dengan sedikit rusuh. Jam digital di meja belajarnya berganti angka seolah melambaikan tangan jika waktunya segera habis sedangkan tubuhnya masih santai mengenakan handuk. Bibirnya mencebik kecil, menarik kembali baju yang sudah dipilih dan membuangnya ke kasur.
"Apa ini kencan? Kenapa aku bingung memilih pakaian?"
Notifikasi ponselnya berdenting lugu di atas kasur, membuatnya melirik sebal dan terdiam sesaat.
Benar juga. Dia bimbang memilih pakaian bukan karena akan pergi dengan Mark. Dia bingung karena dia sedang dalam keadaan terburu-buru.
Dipikir-pikir sudah sekitar tiga bulan semenjak dia pergi hang out terakhir kali. Sampai dia masih ingat pakaian apa yang dipakai kala itu saking jarangnya keluar; sweater hitam pemberian bibi saat natal tahun pertama.
Hari ini dia memilih nuansa cerah, overall dress hijau pastel selutut bermotif kotak kecil dengan t-shirt putih polos sebagai dalaman.
"Diserut ... tidak?" tanya Aya pada pantulan dirinya di cermin sesaat setelah setelan pilihannya sudah sempurna membungkus tubuh. Overall dress itu punya serut kecil di bagian pinggangnya. "Oke, lebih cantik diserut sedikit!"
Bibirnya mengerucut kecil, memeriksa sekali lagi penampilan layering dadakannya. Awalnya saat mandi dia berniat untuk pakai rok midi dan yellow t-shirt andalannya, tapi saat dicari ternyata tidak ada di lemari. Pasti ada di kamar mandi bawah dan belum dicuci.
Selanjutnya dia menarik diri dan mengambil beberapa riasan, memoleskan tipis sekedar memberi kesan agar tidak pucat. Sampai tahap akhir mengaplikasikan lip gloss, tangannya tersentak. Ponselnya kali ini tak hanya berdenting pelan tanda muncul notifikasi.
Ponselnya kini berdering.
Gadis itu hampir mengeluh, tapi lockscreen ponsel yang menunjukkan pukul sembilan tepat membuatnya menahan diri.
"Iya, sebentar. Bisa sabar sedikit?" ujar Aya menjawab telepon. Polesan lip gloss-nya sedikit lagi selesai.
Dan aneh karena si Penelepon di balik sambungan justru tergelak. "Kita hanya akan ke ZSL," ungkapnya menahan tawa. "Jangan bersiap terlalu lama, Aya."
Aya mengelak. "Hampir selesai. Kau jangan menghubungiku dulu."
"Loh? Aku menghubungimu karena tidak dapat balasan apapun. Kukira kau masih tidur?"
Aya bergumam tanpa suara lalu segera mengakhiri panggilan sepihak. Dirinya beranjak seraya mengulum bibir, meratakan tampilan akhir riasan.
"Diikat ... tidak?" gadis itu menyisir rambut dengan tangan. "Bawa saja deh," finalnya meraih karet gelang hitam di ujung meja, tidak lupa merampas totebag putih yang sudah disiapkan di depan lemari.
Langkahnya berbalik sebelum meraih gagang pintu. Dia melesat cepat, bersumpah mematut diri untuk terakhir kali di depan cermin.
"Oke siap, tinggal pakai sepatu."
"Aya—" seruan bibinya berhenti saat pintu kamar itu terbuka. Menampilkan ponakannya yang sudah rapi. "Oh, berangkat sekarang?"
Gadis itu mengangguk, membenarkan letak sepatu sambil menutup pintu. "Ah! Kyla!" omel Aya mendongak, masih dalam keadaan membungkuk melepas sepatunya. "Tuh, lego siapa?" Dia membalik sepatunya, menjatuhkan dua potong kecil lego yang mengganjal kaki.
KAMU SEDANG MEMBACA
dimension
WerewolfAya Shannon punya masalah dengan kepalanya. Meski sudah berkali-kali ke dokter, hasilnya selalu normal dan dia dikatakan baik-baik saja. Padahal gadis itu merasa bagai memakai otak setengah pakai yang di-set ulang entah oleh siapa. Suatu ketika, se...