35

151 26 9
                                    




Selasa, lima hari sebelum festival.






Kemarin Senin, kala Mark begitu menggebu-nggebu untuk bicara, si gadis yang 'dicurigai' justru tidak masuk sekolah. Antara memang sudah tertebak atau hanya kaget pura-pura, Mark kecewa. Semalam suntuk membicarakan semuanya dengan Aln, meski kakak ketiganya itu nampak lelah karenanya, ia tetap dengan sabar menanggapi. Mark harus ambil langkah aman, siapapun bisa bermakar. Lebih-lebih kalau teman Mark itu punya dendam atau rasa tidak suka yang tinggi terhadap mereka, tentu akan fatal.

Bisa dibilang sedikit melegakan karena sebetulnya sampai hari ini tidak ada yang mencurigakan. Lagian, coba pikir. Aya tak akan setega itu.

Hm, atau belum saja ya?

Percaya tidak? Sebetulnya Aln menyuruhnya untuk diam dan menjauh alih-alih menjelaskan. Katanya agar tak berbuntut panjang. Tapi seandainya tidak bilang yang sebenarnya, bukankah akan menimbulkan masalah di masa yang akan datang? Dan entah kenapa Mark yakin bisa membujuk Aya.

Toh, hubungannya sudah sebaik itu. Masa dia justru tak acuh dan menganggap yang kemarin-kemarin cuman salah orang. Mark tidak tega.

Kali ini dia tidak meminta pendapat Nick, dua hari mereka tidak saling tukar pesan. Terakhir bertemu kemarin Minggu di trotoar depan ZSL. Cecunguk itu beneran tidak minta maaf. Memang bedebah. Mark sengaja tidak menunggu ucapan maaf agar jadi kejutan, tahu-tahu memang tak ada kata maaf atau sejenisnya sampai detik ini. Buat onar seenaknya dan berlaku layaknya salah alamat.

Seharian kemarin juga batang hidungnya tak nampak di sepanjang sekolah. Ya, bagus, sih. Dari pada tiba-tiba Mark mengamuk dan menyeretnya ke tengah lapangan saat melihat seringainya yang timbul tanpa sadar. Meski Mark paham kalau tipe senyum dan tawa Nick begitu, tapi terkadang jika keadaannya sedang menyebalkan seperti sekarang dia juga akan ikut kesal. Duh, membayangkannya saja sudah membuatnya muak dan tanpa sengaja memukul rak buku besar di samping tubuhnya.




"Andersson???"

"APA?" Mark balik protes. Bukannya merapikan tumpukan buku dan papan rak yang patah, dia malah sibuk meladeni Sia yang memang ada di dekatnya tengah mencari buku referensi. "Kau tidak lihat aku sedang begitu muak hari ini?"

"Tidak." Gadis yang hari ini rambutnya dikuncir tinggi itu menggambil buku pilihannya, membersihkannya sebentar dari serpihan kayu rak. "Ada banyak hal yang amat lebih baik kuperhatikan dari pada mood-mu hari ini," ujarnya tak peduli sebelum berjalan melewati Mark. "Aku akan bilang penjaga perpustakaan, cepat rapikan sebelum kau dapat denda."

Mark mendesah keras dengan sengaja, melirik kecil tatkala Sia melangkah melewatinya. Tidak tahu saja dia bisa kebingungan spontan saat sampai di meja penjaga perpustakaan nanti, lupa tiba-tiba kenapa dia pergi ke sana.

Lelaki itu memunguti buku-buku yang jatuh dengan asal, mengembalikannya tanpa berniat membenarkan seperti semula. Istirahat ini dia mengikuti Sia, berharap menemukan Aya karena gadis itu sudah keluar kelas sebelum pelajaran selesai dan tak kembali hingga bel istirahat. Tapi zonk, Mark malah kena sembur penyihir. Mood-nya makin hancur.

Padahal sudah beruntung hari ini Aya masuk sekolah, tapi tetap saja sulit diajak bicara. Gadis itu menghindar dari pagi. Mark memang datang paling awal hari ini, pokoknya akan bilang saat ada waktu. Namun, Aya datang terlambat. Sedetik pun tak ada membiarkan sosok Mark berada di pantulan matanya. Bahkan saat lelaki itu sengaja maju ke depan kelas menawarkan diri menuliskan soal latihan matematika, gadis itu malah menenggelamkan kepala ke dalam tumpukan tangan. Tadi juga Mark sengaja menyebut namanya berkali-kali saat guru butuh bantuan guna membawakan keperluan ke kantor, tapi Cassie di sebelah meja justru memukul lengannya dan menyuruh diam, bilang jangan mengganggu Aya terus-menerus.

dimensionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang