39

81 15 0
                                    




Huh, meski tidak sepenuhnya melegakan—ini agak lega.

Entah kapan lagi dirinya bisa bicara dengan Aya. Karena kalau dia jadi Aya ... mungkin dia akan sungguh-sungguh memusuhinya. Mungkin juga tidak, kalau jadi Aya mungkin dia akan beri kesempatan kedua—atau kesempatan ke berapa ya? Mark tidak yakin ini kesalahan pertamanya.

Kadang jadi baik itu jahat.

Dan banyak orang tidak menyadarinya—atau mereka sengaja menutup mata?

Mark memainkan ujung sepatu dengan tangan tersimpan dalam saku jaket jeans. Matanya menatap jalanan. Dia sudah duduk satu jam di sana, tapi jika ada bus yang berhenti, dia tidak juga naik. Saat orang-orang di sebelahnya terus berganti, dia masih begitu saja. Rasanya diam begitu membuatnya melupakan sejenak apa yang terjadi.

Bus ke sekian berhenti lagi di depannya. Suara pintu terbuka berdesis, mempersilahkan calon penumpang untuk segera naik.

Saat perhatiannya terusik karena salah satu anak laki-laki seumuran tujuh tahun tergelincir di tangga bus, ponselnya tiba-tiba saja bergetar. Iya, tiba-tiba. Karena sepanjang siang benda itu hanya teronggok dengan layar hitam. Dia yang akan mengabari Ethan dan Sia —karena mereka sebelumnya bersama-sama mencari Aya— jadi tertunda. Tapi semoga panitia mengatakan jika Aya sudah ketemu, meski itu artinya mereka berdua akan tahu ada tragedi yang terjadi.

Dahinya berkerut samar. Riwayat panggilan seluruhnya dari orang rumah. Layarnya bergulir kecil, dari paling atas ke bawah ada kontak Luke, Gale, Aln, lalu Gara. Baru setelahnya kontak nama Ethan dan Sia.

Dia memutuskan melakukan panggilan balik ke kontak Luke karena dia berada di panggilan teratas, tapi belum sempat ia menekan tombol call, pria itu menelponnya lebih dulu.

Oke, Sia dan Ethan alasannya jelas kenapa menghubunginya. Kalau orang rumah? Apa kunci rumah cadangan hilang dan mereka menuduhnya?

"Bukan aku—"

"Apapun yang sedang kau lakukan, tolong fokus dulu." Luke di seberang tidak ingin basa-basi. "Cepat hapus ingatan orang-orang yang telah melihat siaran langsung stasiun televisiku siang ini—jangan memotong," sergahnya saat Mark ingin protes. Berapa jam lalu dia sudah minta Mark melakukannya. Belum ada setengah hari dan dia memintanya lagi. "Kau tahu kan berita terkini? Berita itu ditayangkan langsung dengan satu berita utama yang terjadi saat itu juga—dan," pria itu terdengar memperbaiki napasnya yang tersenggal. "Tiba-tiba Nick muncul di kamera dan mengamuk." Mark menegak begitu saja. "Itu berita kecelakaan lalu lintas, saat salah satu kru mengambil rekaman di sana, Nick entah dari mana muncul."

"Dia kambuh?" tanya Mark berhasil menyerobot.

"Dia menggila." Dan Luke tidak suka istilah yang Mark gunakan. "Kau tahu matanya yang berubah jadi hitam? Dan taringnya? Oke, aku tidak yakin mana yang lebih dominan akan dikaitkan dengan kita, maksudku ini akan gawat saat orang mulai menyadari dia bukan manusia."

Mark kini bangkit, melirik jam analog di dinding halte. Itu buruk. Seharusnya dia masih musuhan dengan Nick hingga detik ini.

Manja betul, ditinggal berapa hari saja sudah buat kekacauan? Bisa tidak sih kalau sedang kambuh begitu dia di rumah saja? Atau pergi ke tempat sepi?

"Orang mungkin akan segera memburunya—dan itu artinya, kita akan terlibat," Luke mengumpat. "Harusnya memang dibunuh saja sedari awal. Dia itu menyusahkan."

Mark meragu, "Tapi kalau itu siaran langsung, aku harus melakukannya ... untuk semua orang di kota?"

"Iya. Aku yakin tidak semua orang melihat televisi saat itu, tapi kau tidak akan tahu siapa saja yang menonton kalau tidak melakukan dimension, 'kan?"

dimensionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang