22

175 39 4
                                    




Hal baru yang Aya tahu hari ini.

Pintu itu, pintu besi utara sekolah yang menjepit jarinya semalam. Siapa sangka pintu itu punya banyak penggemar? Maksudnya, astaga! Sudah berapa orang yang mendatanginya hanya untuk protes karena pintu itu akan ditutup diam-diam pagi ini.

Dan dari mana anak-anak tukang terlambat itu tahu jika dia yang melapor?

Andai saja peristiwa semalam tidak terjadi, gadis itu pasti malas melakukannya. Selain karena bukan urusannya, hal-hal memuakkan seperti dilabrak tiba-tiba sangat mungkin terjadi —mengingat murid laki-laki yang dominan menggunakan pintu itu.

Reputasi Aya mungkin akan sedikit buruk jika berita tentang ini tersebar.

Beberapa saat lalu, Ethan juga mendatanginya. Sedikit dramatis sambil berseru, "Aku kira kita adalah teman baik."

Omong kosong.

Aya bergidik mendengarnya, berpikir cepat kapan mereka akrab dan bisa disebut teman baik. Lelaki itu orang ke enam yang mendatanginya —satu-satunya yang datang saat jam makan siang. Lima orang yang menjumpainya sebelumnya tidak dikenal, dan Aya malas berpikir (kembali) dari mana mereka tahu jika gadis itu yang melapor.


Baik. Sudah diputuskan. Jika ada siswa lagi yang mendatanginya dan bersiap menerkamnya nanti, ia bersumpah akan memberitakan soal pintu sialan itu di radio sekolah sebelum jam makan siang berakhir.

Gadis itu kemudian menopang kepalanya malas, menatap kelasnya yang kosong. Ia tidak lapar, muak bertemu banyak orang setelah orang-orang mencarinya tadi pagi. Hingga, bayangan dari ambang pintu membuatnya menoleh dan bermonolog tanpa sadar.

"Oke Aya, kau masih punya waktu lima belas menit untuk memberitakannya di radio sekolah."

Nick. Nama pertama yang Mark sebut memakai pintu itu tadi malam —dan kelihatannya dia pengguna (pintu) ulung.

Aya menghirup napas pelan, bangkit dari kursi guru yang ia duduki sebelumnya. Bergerak tanpa rasa ke arah pintu. 


Lelaki berseragam tanpa almamater itu membuka bibirnya cepat di bawah ambang pintu saat Aya mendekat.

"Aku akan ke radio sekolah," gadis itu berhenti di depan Nick dan mendongak sekilas, mengambil alih waktu yang lelaki itu niatkan untuk bersuara. "Aku akan menjelaskan semuanya."

Nick memiringkan kepala, heran tapi tidak mau tahu. "Siapa peduli?" Dia kemudian melongok ke dalam kelas. "Ada Mark?"

"Hng? Kau kemari untuk mencarinya?"

"Siapa lagi? Aku tidak mungkin mencarimu."

Ah, apakah anak ini belum tahu soal pintu andalannya dan anak-anak tukang terlambat itu?

"Apa dia pergi makan?"

Aya menggeleng. "Dia hari ini absen." Jeda sedetik. "Dia sakit."

Nick melotot, hampir membuat Aya berteriak karena matanya yang hampir keluar.

"Dia tidak bilang apa-apa padaku?" gumam Nick lebih kepada dirinya sendiri, tapi gadis di depannya dengar dan balik bertanya.

"Memangnya kau siapa?"

"Aku?" Nick tertawa —dan Aya tiba-tiba ingin ke kantin untuk menghindarinya. Teman kelas Paula tersebut membasahi bibir cepat, menunduk menyamakan letak wajah dengan Aya. "Kenapa kau bertanya dengan raut wajah seperti itu?" Dia kembali menegakkan tubuh, berdecak sebelum kembali menatap wajah gadis di hadapannya. "Apa kalian sudah berpacaran sekarang?"

dimensionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang