05

478 106 28
                                    




"Mark! Kau tidak tuli, kan?"

Dengan brutal Aya mengetuk pintu kamarnya, kedua tangannya sibuk membawa dua gelas espresso jadi dia butuh seseorang untuk membantunya membuka pintu. Sudah tiga menit ia berdiri disana dan belum ada sahutan dari dalam kamar.

Hari sudah beranjak senja.

Iya, Aya melupakannya. Terlalu asyik melayani pelanggan hingga bermain di taman depan bersama Kyla membuatnya lupa jika salah satu temannya sedang berkunjung. Lagipula Aya sudah berpesan kepada Mark untuk memanggilnya saat lelaki itu sudah selesai, tapi tak ada panggilan apapun hingga matahari semakin turun dari singgasananya.

Untunglah bibinya mengingatkan. Membuat Aya gelagapan memesan dua espresso lagi karena pesanan yang sebelumnya sudah entah kemana.

Tapi sekarang? Pintu kamarnya masih tak bergeming. Dimana bocah itu?

Jangan-jangan ketiduran.

Aya berdecak, bersusah payah mengayunkan lengannya ke atas knop pintu, mendorongnya ke bawah, sekaligus menjaga minumannya agar tidak tumpah.

Setelah terdengar bunyi pintu terbuka, Aya menendangnya pelan.

Dengan sedetik kemudian, gadis itu memekik.



"Hey! What are you doing there?"

Mark yang sedang tiduran di kasur Aya masih tak berkutik, masih santai dengan posisinya bersender pada headboard ranjang dengan buku yang menutupi pandangan.

Aya berdecak, meletakkan gelasnya ke atas nakas. Dengan gerakan yang hampir bersamaan Mark yang menoleh ke arahnya, ia mencabut earphone di telinga kanan Mark.

"Aya—"

"Turun dari kasurku."

"Huh?" Mark mengernyit. Lelaki itu baru mengumpulkan nyawa di dunia nyata setelah tenggelam di buku bacaannya.

"Kau tuli?" tembak Aya. "Kenapa kau tidak memanggilku? Kau sudah menemukan bukunya? Dan kenapa—" Gadis itu berhenti mengomel saat netranya menangkap pemandangan asing di depannya. "Dimana rak bukunya?"

Mark menatap Aya ikut bingung. "Sudah kupindahkan."

"Huh?"

"Sepertinya kau juga tuli."

Kalimat Aya tersangkut di tenggorokan, tangannya bergerak bingung tapi sepersekian detik berikutnya ia justru menggaruk bibir bawahnya, berjalan cepat keluar kamar, mengecek ruang tengah. Aya terkejut, bukan hanya sudah dipindahkan sedemikian rupa, tapi buku-buku disana juga sudah tertata rapi, dengan tinggi dan jenis buku yang sama.

Aya menipiskan bibir. Tidak terdengar suara berisik dari tadi disini, atau mungkin musik café yang cukup mendominasi frekuensi udara ruangan di bawah yang membuatnya tidak mendengarnya.

"Bagaimana bisa?" Aya melambungkan rasa penasarannya. Gadis itu kembali ke kamar lalu naik ke atas ranjang. Mark disana belum peduli sedari tadi, bahkan saat Aya keluar kamar memeriksa, lelaki itu justru memasang kembali earphone-nya, lanjut membaca.

Mata Mark melotot kaget kala Aya tiba-tiba mendekatinya. Tubuh Mark sudah akan mundur, tapi setelahnya bocah itu diam saat punggung tangan Aya menempel di dahinya.

"Tidak panas tidak dingin, suhu badan kita sama." Aya duduk bersila di samping Mark.

Mark sudah akan membuka bibirnya, tapi urung saat Aya kembali menyentuh rahangnya dengan punggung tangan, entah memeriksa denyut nadi, entah memeriksa suhu badan lagi—entah hanya ingin menyentuhnya.

dimensionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang