Part 10

27.7K 2K 111
                                    

Setelah berhasil membujuk Tania untuk beristirahat dirumah, akhirnya Levin dapat pergi kekantor seorang diri. Bukan hanya bekerja alasannya. Tapi juga Viola. Ia ingin bertemu dengan Viola. Akhir-akhir ini karena terlalu fokus dengan Tania, ia jadi melupakan Viola bahkan mengacuhkannya. Sepertinya Levin sudah mulai terbiasa tanpanya. Fokusnya seakan teralihkan kepada sosok Tania yang selama ini ia abaikan.

Dan saat ini Viola sedang menekuk wajahnya marah.

"Kamu marah?"

"Kamu cinta sama dia?"

"Kamu harus ngerti, dia istri aku. Aku nggak tega nyakitin dia lagi. Akhir-akhir ini mentalnya down. Kita nggak boleh bertemu di depan dia."

"Katanya kamu mau ceraiin dia?"

"Aku nggak bisa Vi." Desisnya frustasi.

"Jadi kamu cuman mainin aku aja?"

"Aku juga bingung dengan perasaanku. Tapi aku tidak bisa menceraikannya. Aku tidak bisa menyakitinya lagi."

Viola beranjak dari tempat duduknya geram. Ia mencengkram kerah pria itu dengan erat, lalu memandanginya dengan tajam. "Kita sudah lama pacaran. Kita saling cinta. Kenapa kamu tega seperti ini sama aku?"

"Maaf, tapi aku benar-benar tidak bisa menceraikannya. Aku butuh waktu untuk meyakinkan diri. Terlebih, aku sudah mengambil hal berhaga yang ia miliki." Lirih Levin dengan mengenggam tangannya.

"Kamu tidur dengannya? Sedangkan denganku kamu tidak pernah bersedia?"

"Aku hanya melakukannya ketika sudah menikah."

"Kamu keterlaluan..!!!" Terianya kencang sambil mengacak-acak kerah kemeja Levin. Dan bersamaan dengan itu... suara pintu ruangan Levin terbuka tanpa diketuk lebih dulu. Siapa yang berani membuka ruangannya dengan semena-mena seperti itu?

Viola mendesis marah ketika lagi-lagi melihat Tania dihadapannya. Dan kesalnya, Levin memilih bangkit untuk segera menyambut kedatangannya. "Tania, kok kamu kesini?"Ujar Levin sambil mengusap rambut panjang milik wanita itu.

Tania diam untuk beberapa saat. Sakit ini... ia rasakan lagi. Kemana Tania yang kuat? Kemana Tania yang berani? Apa tanpa bantuan suara misterius itu, dia tidak bisa menjadi kuat?

Melihat Viola, membuat Tania kembali merasakan sakit di hatinya. Ia masih ingat berapa banyak wanita itu menghinanya di masa lalu. Berapa banyak hujatan dan cacian yang wanita itu berikan. Sekarang apa wanita itu masih berani menghinanya? Apa yang mau ia hina?

Jika dahulu penampilan, kini penampilan mereka sama glamournya. Cantik? Mereka sama-sama memiliki itu. Apa yang akan dia sombongkan? Kemampuannya menggoda suami orang? Tania tidak akan membiarkannya kali ini. Meski ia harus berusaha keras melawan ketakutannya.

"Aku haus." Ujar Tania kepada Levin yang hanya mengangguk dengan penuh rasa bersalah.

"Aku ambilin minum." Balas Levin, lalu keluar dari ruangan. Kini Viola dan Tania saling berhadapan hanya berdua. Sudah lama sekali Tania ingin menghadapinya, wanita kejam yang telah menindasnya selama ini. Tidak akan Tania biarkan Viola mengambil Levin darinya.

"Lo nggak malu deketin suami orang?" Tania memulai pembicaraan.

"Levin nggak cinta sama lo! Dia cinta sama gue!" Balas Viola tajam.

"Lo yang kegatelan!" Tania mendorong Viola dengan kasar. "Lo itu pelakor nggak tau diri. Mendingan lo jual diri dari pada jadi pengganggu di rumah tangga orang!" Sentak Tania puas. Ini pertama kali ia bisa meneriaki orang dengan berani.

Sedangkan Viola yang tak trima langsung mencengkram leher Tania. "Lo yang pelakor! Gue yang kenal Levin duluan, gue yang menjadi pacarnya duluan!"

"Tapi nyatanya gue yang menjadi istrinya! Tau diri!"

Plakkkkkk...!!! Viola menamparnya hingga Tania terkapar di lantai.

"Viola!" Teriak Levin yang baru datang dengan segelas air shock melihat Tania ditampar. Apalagi ketika melihat wajah Tania memerah dan terlihat kesakitan. "Kamu apa-apaan sih?"

"Dia yang dorong aku duluan!"

"Tania bukan orang kasar seperti itu. Jangan keterlaluan dengan menuduhnya. Aku tau kamu kesal, tapi aku nggak suka kamu pakai kekerasan kaya gini. Sekarang pergi dari sini."

"Levin..."

"Pergi."

Tania tersenyum licik ke arah Viola. Ia terus mengusap wajahnya dengan dramatis. Seolah pukulan itu sakit sekali.

Viola meninggalkan ruangan itu sambil menghentakkan kaki. Ia benar-benar kesal dengan Tania. Bahkan Levin lebih memilih membela Tania daripadanya. Jadi wanita itu lebih penting sekarang?

"Kamu kenapa nggak bilang-bilang mau kesini? Katanya masih sakit?"

"Kenapa? Biar kamu bisa berduaan sama selingkuhan kamu?" Ujar Tania sok tegar.

Tapi Tania adalah Tania, si cengeng. Pada akhirnya tangisnya pecah. "Kamu jahat banget Levin." Isaknya sembari beranjak berdiri dan hendak keluar ruangan.

"Mau kemana?"

"Jangan pegang-pegang!" Pekik Tania sembari menepis tangan Levin yang mencoba menahan kepergiannya.

"Aku obatin wajah kamu dulu."

"Nggak perlu. Hati aku aja kamu sakitin tiap hari. Luka ringan kaya gini mau kamu obatin? Nggak guna!" Ujar Tania dengan berkaca-kaca. "Kamu tenang aja, sebentar lagi kamu bakalan bebas kok. Aku bakalan pergi jauh dari hidup kamu."

"Kamu ngomong apa sih?" Lirih Levin pelan, lalu menarik Tania kepelukannya. "Kamu nggak akan kemna-mana."

Tania masih menangis haru... sebelum akhirnya pinsan tak sadarkan diri. Ia sangat lelah dengan hubungan mereka. Terlalu menyakitkan. Terlalu banyak kesakitan yang ia pendam selama ini.

Levin pun kembali menghubungi Lea untuk memeriksa keadaan Tania. Keadaan psikisnya yang sepertinya semakin memburuk.

"Aku butuh waktu Tania untuk meyakinkan hati aku. Entah kenapa aku mulai... begitu menyayangimu sekarang. Aku sayang kamu." Bisik Levin pelan. Pria itu mengangkat Tania keruang pribadinya. Memeluknya sembari menunggu Lea datang. Dokter sekaligus psikiater yang ia bayar khusus untuk menangani Tania.

****


Mysterious WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang