H

13 0 0
                                    

Ini agak jauh dari rumah, dan ramai, dan Diksa nampak selalu friendly. Layar tancap sudah berdiri tapi film belum dimulai. Ya, anak-anak dari umur empat tahun hingga orang-orang yang sudah tua, mereka semua ada. Mungkin mereka memang menyukai film. Mungkin mereka bosan di rumah. Juga, mungkin mereka sekadar jalan-jalan saja. Tetapi alasan di balik itu sama sekali bukan urusanku.

“Aryn,” Diksa memanggil, mengalihkan aku dari isi kepala yang random.

Aku tidak menjawab, cukup menoleh begitu saja dan dia mendadak menggandeng tangan kananku. Aku terpaku sebentar, yang kemudian diajaknya berjalan agak cepat ke arah seorang penjual Arum Manis.

Oh iya, pembaca. Perlu kita semua ketahui. Mungkin yang kamu  bayangkan adalah tempat yang bagus dan nyaman, tapi ini hanyalah sepetak lapangan pusat di desa. Dan kamu mungkin akan segera paham, jadi aku tidak perlu menjelaskan lebih lanjut.

“Suka ini?” dia menawariku segumpal arum manis yang baunya menyengat, dan aku memang suka.

Dia lepaskan genggaman tangannya demi mengambil dua gumpal arum manis seusai aku mengangguk.

“Dari mana tahu aku suka ini?” kutanya dia. Ya siapa tahu dia memiliki narasumber dari salah satu kawanku.

Diksa bagai berpikir, yang sepertinya memang tidak sengaja menawariku hal yang aku sukai. “Aku hanya merasa kamu akan menyukai hal-hal yang manis,” ujarnya.

“Mengapa begitu?” aku menoleh ke arahnya setelah dia mengambil uang kembalian dari bapak pedagang.

“Karena kamu manis.” dan dia tersenyum sumringah. Kemudian berbalik berjalan mendekati layar yang sebentar lagi akan diputar, membuat aku mengikutinya.

Aku tahu ini tidak masuk akal tapi dia baru saja membuatku salah tingkah. Sambil digigitnya arum manis yang tidak bernyawa itu, tangan kirinya menggandeng tangan kananku yang kosong.

“Aku gugup,” ucapnya, yang mana sekarang dia berdiri di samping kananku.

Aku menoleh tapi tidak benar-benar menoleh, hanya sedikit meliriknya. Tentu aku diam saja, dan memang sudah menjadi kebiasaanku ketika di dekatnya. Ingin berkata aku juga gugup, tapi itu hanya akan membuat dia menerka-nerka tentang perasaanku padanya. Yang mungkin. Mungkin ya, sama dengannya. Tapi bagiku pun, aku juga belum tahu pasti.

Aku tidak paham apakah operator film sedang kehilangan kepingan kasetnya, tapi menunggu layar tancap diputar sudah agak lama. Dan diksa mengetahui aku sudah bosan.

“Mau duduk di bawah?” dia menawari. Aku menatapnya bertanya-tanya. “Duduk di bawah, keberatan? Tidak mau?” tanyanya memastikan.

Aku bagai berpikir. Bukan tidak mau, tapi aku memikirkan tentang bagaimana posisinya.

“Sebentar,” dia mengambil jeda, memintaku menyerahkan pegangan arum manis yang sudah habis, dan begitupun dengan dia. “Tempat sampahnya di mana, ya?” dia menggumam. Yang kemudian dia menemukannya sendiri.

Diksa. Aku melihatnya berjalan setengah berlari, demi membuatku tidak menunggu dan merasa lebih bosan.

Rasanya, bertemu dengannya baru kemarin. Dan sekarang aku sudah jalan dengannya, menonton film. Langkah yang cepat. Aku tidak bisa membiarkan dia mengambil perasaanku secepat itu. Ini tidak adil.

Dan Diksa kembali ke arahku. Dia tersenyum, seperti biasanya, senyum yang tipis, hampir tidak terdeteksi kalau dia sedang tersenyum.

“Biarkan aku duduk dulu,” katanya.

Dan dia bersila di belakangku. Aku sedikit menyingkir demi menjaga sopan. Aku melihat satu kakinya menyila, dan satu kaki kirinya ke depan tapi tertekuk. Semacam duduk anak-anak cowok biasanya. Dan kau tahu apa yang mengejutkan, pembaca? Dia memintaku duduk di depannya, sedikit berpangku dengannya.

Oh, tidak. Aku akan sangat malu.
Tapi apa? Dia mengulurkan tangan dan mempersilakan aku dipangkuannya.

Apa yang terjadi di malam-malam begini dan di tengah keramaian seperti ini? Bahkan setelah kupikir-pikir, aku dan Irawan sama sekali tidak pernah semacam itu.

“Kenapa?” dia bertanya. Mungkin dia menyadari perasaanku, tapi dia mengabaikannya. “Malu dengan orang-orang?” dia memastikan apakah pemikirannya benar. Dan, ya. Aku mengangguk.

Dia tersenyum.

Hei! Dia tersenyum?

Aku menatapnya heran. Dan dia justru mengulurkan tangannya lagi.
“Duduk, tidak apa-apa. Orang-orang tidak akan menganggap ini berlebihan. Lagipula, juga tidak ada yang melihat kita di sini,” dia meyakinkanku.

Baiklah, aku menganggap kalimatnya benar, dan sekarang aku berpangku dengannya. Pelan-pelan aku menemukan posisi yang nyaman dalam keadaan seperti ini. Sesekali aku menekuk lutut, sesekali menjulurkan kaki ke depan sepenuhnya. Dan punggungku bersandar di dada milik Diksa yang aku tahu jantungnya sedang berdegup sangat keras.

Diksa, kamu membuat semestaku penuh karena perlakuan ini.

“Filmnya belum dimulai, jangan tidur. Ya?” ucapnya setengah meledek. Dia pandai bercanda, dan aku menggeleng.

Tentu saja aku tidak akan tidur dalam posisi semacam ini. “Oh? Sudah dimulai,”

Aku tanpa sadar menjadi begitu antusias. Aku dan Diksa menjadi tanpa bicara, memerhatikan sebuah film berjudul Jaka Swara yang dibintangi oleh Roma Irama dan Camelia Malik. Film ini nampak sudah sangat dulu. Aku melihat tahun produksinya pada 1990, dan berlatar belakang peperangan dengan portugis. Ada sedikit perkelahian, dan ini membuatku malu karena aku sering terkejut.

Mengenai filmnya, bagaimana ya, aku tak bisa terlalu berkomentar karena aku tak begitu fokus. Apalagi penyebabnya kalau bukan Diksa. Meskipun tak banyak bicara, dia membuatku merasa nyaman. Atau mungkin, ini perasaan yang hadir karena kali pertama mendapat perlakuan semacam itu dari seorang laki-laki?

Bersama Diksa aku pulang juga hari itu. Pukul sebelas malam dan aku tahu ini terlalu larut. Ayah mengomel sebentar lalu tak mempermasalahkan apapun. Cukup membuatku gugup tapi semua terasa membaik pula. Maksudku, perasaanku setelah jalan bersama Diksa. Di jalan pula dia cerita banyak hal dan aku membalas sebentar-sebentar. Suaranya yang sayup-sayup karena jalanan yang bising ingin terus aku dengar. Laju motornya yang tak terlalu kencang membuatku ingin terus bersamanya jika Tuhan mengizinkan. Jaketnya yang harum dan wanginya menempel di bagian bajuku membuatku terus mengingat dia.

Ah, Diksa.



🌼

DnA, 1996Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang