Sering di sepanjang jalan. Entah ke sekolah, pulang ke rumah, atau sekadar pergi bersama kawan-kawan, aku menjadi kepikiran tentang Diksa. Jangan disangkal karena aku benar-benar memikirkan dirinya. Kalau kau jadi aku, mungkin hal yang sama akan terjadi padamu. Karena, bagaimana mungkin suatu perasaan kamu abaikan begitu saja? Juga, aku menjadi tidak pernah bertemu dengannya semenjak pembicaraan di teras waktu itu. Sudah seminggu, dan lama-lama aku cemas juga.
Seandainya Diksa benar-benar serius sore itu, apakah aku sudah menyakitinya? Tapi… menjawab pernyataan suka jelas tidak mudah. Banyak hal-hal yang selalu terlihat salah, termasuk menolak atau membalas. Jadi, maafkan aku.
Tapi biarpun dia tak nampak, ada satu suratnya sampai ke rumahku. Sebelum kamu salah paham, akan aku beritahu kalau dia sama sekali tidak membicarakan cinta di dalam suratnya, bukan cerpen, atau bahkan puisi. Justru dia menceritaiku tentang hobinya yang memahat kayu. Aku tidak paham mengenai isi otaknya dan tidak memahami maksudnya memberi kisah semacam itu. Toh, aslinya aku tidak ingin tahu mengenai dirinya ( atau apa aku sedang membohongi diri?)
Bukankah setidaknya lebih baik kalau dia memberiku puisi? Biasanya, seorang jatuh cinta melakukan itu. Tapi dia manusia yang bukan seperti manusia biasa. Aku tidak bilang dia kucing, dia justru lebih istimewa daripada itu.
Aku akan menuliskan isi suratnya juga kalau kamu penasaran:
“Aryn. Arynku,”
Aku tahu dia lelaki yang lancang. Belum apa-apa sudah mengakuiku sebagai kepemilikannya.
“Apa yang kamu ingin? Sepatu Dr. Martens? Atau kamu sudah nyaman dengan Sepatu Warrior yang biasa kamu pakai?”
Dia bahkan memperhatikan sepatuku.
“Aku tidak bisa menemuimu. Aku lembur membantu pamanku. Kamu pasti sudah tahu tentangku dari ayahmu, jadi aku tidak perlu bercerita banyak hal.”
“Aku pergi ke sekolah tapi tidak sempat menemuimu. Besok minggu aku akan ke sana. Atau sekalian jalan-jalan? Kalau kamu mau.”
Aku tidak bilang ingin bertemu dengannya. Tapi baiklah, bertemu dengannya cukup menghibur.
“Tapi kupikir kamu sama dengan ayahmu. Kamu menyukai sejarah? Aku mendengar itu dari Kristina.”
Sejak kapan Kristina berbincang dengan Diksa?
“Orang Jawa pada umumnya memang menyukai tradisi mereka. Besok minggu aku akan mengajakmu ke toko meubel milik pamanku. Di sana ada desain-desain bagus untuk dilihat. Juga, aku ingin mengajakmu pergi nonton layar tancap. Lagi-lagi, kalau kamu mau…”
“Ada film bagus yang ditayangkan Sabtu malam nanti. Judulnya Bulan Bintang. Yang main Roma Irama dan Camelia Malik. Kalau kamu mau, aku bisa menjemputmu pukul tujuh malam,”
“Oh, iya. Aku mendapat kabar bahwa kamu putus dengan pacarmu. Aku turut berduka cita.”
“…”
Dan suratnya sangat panjang. Aku menutupnya sebelum selesai.
“Aryn!” Kristina memanggilku, sedang Nunuk mengintip dari balik pintu.
Ya, kami sedang berfoto di salah satu studio foto dekat sekolah. Kami memakai seragam putih abu-abu dan sepatu yang sama. Sepatu Warrior yang disebutkan Diksa di dalam suratnya. Dan memang sengaja untuk membentuk kenangan di hari ini. Suatu hari, ketika mungkin aku rindu, aku bisa membukanya.
“Baca apa kamu, Ryn?” Rini melihatku begitu aku memasukkan kertas itu ke dalam tas yang ditumpuk bersama tas milik kawan-kawan lain.
Aku melihatnya dengan tangan masih mengotak-atik tas, “Surat,” jawabku.
Betapa jawaban itu teramat membuat keingintahuan kawan-kawanku memuncak. Semua menolah, Rini, Kristina, Nunuk. Mereka semua menatapku. “Surat dari siapa?” Kristina segera bertanya, dan seolah semua juga menanyakan hal yang sama lewat tatapan kawan-kawanku itu.Harus kuakui, biarpun mereka adalah kawan-kawan yang sangat kupercaya, tapi aku enggan bercerita hal semacam ini. Bukan karena apa-apa. Aku baru putus dengan kak Irawan, kemudian menerima surat dari laki-laki lain? Itu tidak masuk akal dan meskipun itu adanya, aku bingung bagaimana bereaksi.
“Irawan?” tebak Rini.
Aku segera menggeleng.
“Rizal?” Tanya Nunuk, dan pasti dia bergurau.
Aku tertawa pelan, “Untuk apa Rizal mengirimu surat?”
Kemudian Nunuk berujar dalam tawanya, “Siapa tahu dia ngajak ke pasar malam, ngajak kau makan terus kita ikutan,” dan tawa Nunuk diikuti yang lain termasuk aku.
“Ayo siap-siap!”
Juru foto kami sudah memanggil. Pak Ndowi membawa kameranya dan meminta kami berbaris sesuai yang kami mau, kemudian beliau yang merapikan. Sejenak serius, sejenak tersenyum, sejenak tertawa. Yang kemudian kenangan-kenangan di foto itu menjadi kenangan yang paling kurindukan di hari sekarang.
🛸
