D

22 12 4
                                    

"Nehan! Ayo!!!!"

"Tendang Han!"

"Yaaaahhhhhhhh!"

"Gantilah aku yang main!"

"Nehan jadi keeper!"

Demikian itulah, halaman samping rumahku menjadi stadion karena ulah Diksa dan kawan-kawannya.

Ya. Aku sudah pulang sekolah. Baru saja, dan di rumah sudah terjadi keramaian semacam itu. Aku dapat menyimpulkan, usai sekolah Diksa tidak pulang, tetapi langsung menuju rumahku. Aku melihatnya berseragam sambil bermain sepak bola dan menjadi begitu kotor. Beruntung tidak sedang musim hujan.

Aku keluar dari kamarku setelah berganti pakaian. Memilih ikut bergabung bersama Ibu yang sedang membuatkan secangkir kopi untuk Ayah yang tengah memoles koleksi benda-benda uniknya.

"Ibu!" kupanggil, dan ibu menoleh seraya mengaduk secangkir kopi.

"Hm?" ibu bergumam kecil. Kemudian tanpa melihatku, ibu berjalan menuju pintu belakang rumah. Ayah ada di sana.

"Anak laki-laki di halaman sebelah kenapa diizinkan main, Bu?" kutanya setelah Ibu kembali ke dapur dan duduk, memotong-motong kangkung yang akan dimasaknya sore ini. Sedang aku hanya minum segelas air putih.

"Kenapa? Mengganggumu?"

"Bukan," aku bagai berpikir. "Biasanya Ayah tidak suka ramai, kenapa Diksa diizinkan main?"

"Ayahmu sedang baik. Mengapa kau protes? Hm?" Ibu tersenyum.

Aku mengangguk, mengiyakan. "Tidak seperti biasanya."

"Sepertinya ayahmu kenal dengan anak itu." Ibu mulai bercerita.

"Siapa,?"

"Yang mencarimu kemarin malam?"

"Oh?"

"Siapa namanya?"

"Diksa, Bu?"

"Iya. Kau mengenal anak itu?"
Aku menggeleng. "Satu sekolah."

"Ayahmu bilang, dia yang ikut membuat meubel di pasar. Toko meubel langganan ayahmu."

"Dia pandai mengukir?" kali ini, aku terkejut.

"Meja belajarmu itu, hasil karyanya." mendadak Ayah berujar, lalu ikut duduk di sampingku sambil minum kopi.

Aku terkejut. "Dia kerja?" kutanya Ayah.

"Toko itu milik pamannya, dia cuma membantu." Ayah diam sebentar. "Dia berbakat. Ayah suka."

Aku mengangguk dan cuma ber'oh'.

Mendadak suara langkah kaki memasuki rumah. "Buu?" seseorang memanggil dari luar. Aku segera merespon karena melihat ibu sibuk, maka aku yang pergi ke depan untuk melihat siapa dia.

"Oh? Kamu?" ujarku.

Dia, Diksa.

"Aryn, boleh minta air? Untukku, kawan-kawanku juga."

Aku melihatnya membawa bola sambil berkeringat. Dan kawan-kawannya itu, semua beristirahat di teras rumahku. Aku pikir mereka sudah selesai bertanding. Napas mereka berderu, kecuali yang hanya menjadi pesorak.

Dibanding basa-basi, aku segera mengambilkannya minum dan masuk ke dalam rumah, sedangkan dia ikut duduk bersama kawan yang lain.

"Lain kali bawa sendiri," ujarku usai kembali dari mengambil beberapa botol air putih dari dapur.

Diksa tersenyum, tapi justru teman-temannya tak menghirau, sibuk menelan air bagai tak minum berhari-hari. Dan tanpa menjawabku, dia minum kemudian meletakkan kembali botol air itu. Lalu aku segera melangkah ke dalam rumah.

DnA, 1996Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang