A

117 33 31
                                    

Baru saja aku menelepon Kristina, kemudian hendak membaca majalah, tetapi tidak jadi karena dipanggil Ibu di ruang tengah. Kuletakkan lagi Majalah Gadis itu kemudian segera menghampiri Ibu. Dia duduk sambil menonton TV bersama Ayah yang sibuk mengelap kacamata. Aku duduk di antara mereka.

“Tadi sore Irawan datang.” begitu kata Ibu, memberitahuku karena tadi sore aku tidak di rumah, pergi bersama Kristina dan Rini untuk sekadar jalan-jalan.

“Ada apa? Katanya?” kutanya Ibu.

Dia berganti mengambil sebuah kain dan mulai menyulam. Aku memperhatikan. “Cari kamu, nak. Ibu bilang sedang main sama Kristina. Dia cuma senyum, lalu pamit.”

“Pacarmu? Dia?” Ayah bertanya. Aku mendadak canggung dan memandang Ibu, kemudian mengangguk ragu. Setelahnya Ayah diam. Kemudian bersuara lagi, “Irawan? Anaknya Pak Zaenal?”

“Iya.” jawabku sambil mengangguk.

“Ayah nggak suka dia!” Ayahku berkata. Tentu hal itu membuatku tertegun, tidak tahu bagaimana harus menanggapi. Tapi Ibuku langsung menyela, “Ayah!” begitu tukasnya, ingin menghentikan Ayah berbicara hal yang akan menyakiti perasaanku.

“Pergi ke kamarmu! Belajar! Besok, putuskan pacarmu itu!” begitu Ayah menyelesaikan kalimatnya, dia pergi. Menyisakan aku dan Ibu yang termangu usai mendengar kalimatnya.
Aku tahu Ibu berusaha menenangkanku dan mengusap bahuku pelan, “Sudah! Jangan dipikirkan!” tuturnya lembut sekali. Aku hanya tersenyum membalasnya, kemudian dia memelukku dengan hangat.

Ah. Ibu.

Pada masanya, yaitu tahun 1996 bulan Juli yang sangat jarang turun hujan, muncul berbagai cerita yang tidak pernah aku duga akan menjadi bagian dari hidupku sebelumnya. Jadi, jika nanti kedepannya aku berkata hal-hal yang terdengar berlebihan, mau tidak mau kamu harus percaya.

Bulan Juli itu, aku baru masuk ke salah satu SMA di daerahku. Yaitu salah satu daerah di Jawa Timur yang tidak banyak industri pabrik, tetapi terasa panas karena menjadi kota tambang minyak. Awalnya aku tidak setuju dengan orang-orang yang mengatakan kotaku panas, karena ku kira, di rumahku cukup sejuk. Tetapi kemudian aku membenarkan mereka. Karena kelak aku sadar bahwa rumahku sejuk adalah karena dekat sungai dan dirimbuni oleh pohon-pohon Jati yang tumbuh berserakan di depan rumah.

Lupakan tentang rumahku, kita kembali ke pada cerita bahwa aku mulai masuk SMA. Yang mana, warna tembok sekolahku adalah orange cerah dan belum luntur. Di sana ada banyak tanaman kecuali Bunga Bangkai. Ada tikus, jangkrik, semut gatal, dan ulat bulu yang kemudian hilang setelah aku menjadi murid baru di sana. Entah karena pindah atau disemprot hama oleh tukang kebun, aku kurang tahu.

Kukira aku tidak perlu menjelaskan tentang sistem pembelajaran di sekolah, yang harus kamu tahu adalah pelajaran favoritku, PMP (sekarang PKn). Bukan berarti apa-apa, cukup kamu tahu saja.

Oke, aku mulai berkenalan dengan beberapa teman baru termasuk Kristina yang menjadi teman sebangkuku (walau kami berbeda keyakinan), kemudian yang lain adalah Pi’anan, Rizal, Susilo Rini, Nunuk, Prawito BL, Eko, Bayu Sujatmiko, Haris, dan yang lainnya, yang kurasa kalau aku sebut hanya akan membuatmu bingung. Tetapi dari itu semua, aku menjadi sahabat dekat dengan Kristina, Rini, dan Nunuk. Lalu juga bersama Pi’anan dan Rizal  karena mereka duduk di belakangku sebagai teman bicara setiap hari.

Aku masuk kelas unggulan dan kawan-kawanku itu sangat baik, terutama Rizal, dia sering mentraktir jajan di kantin walau rambutnya keriting dan sering menyontek.

Pernah suatu ketika, “Aryn!” Rizal memanggilku. Aku menoleh tanpa menjawab. Itu terjadi di kantin ketika aku membeli jajan yang aku sudah lupa namanya, yang pasti bukan tempe goreng.

“Mau jagung bakar?” tawarnya.

“Tentu!” aku sumringah.

“Ibuku dapat arisan, jadi kau kutraktir. Jangan risau!” begitu katanya.

Aku tertawa, kemudian mengacungkan jempol. “Makasih.”dia mengangguk dan aku pergi bersama jagung bakar yang dia beri, lalu memakannya bersama kawan lain di kelas.

Dan, ketua kelasku, Bayu Sujatmiko, dia itu yang paling nakal di kelas. Akan kupanggil Bayu saja supaya kamu mengerti dengan benar bagaimana ceritaku mengenai kenakalannya. Dia itu, satu-satunya murid yang membuat Bu Umi, guru Bahasa Inggris kami menangis di kelas. Ah. Aku tidak habis pikir ketika itu.

“Bayu! Hentikan!” Bu Umi bertutur. Semua murid di kelas menjadi diam.

Karena aku duduk di belakang, aku menjadi penasaran atas apa yang dia lakukan di bangkunya hingga membuat Bu Umi marah. “Bayu!!!” Bu Umi bertutur lagi.

Ternyata Bayu memang tidak bisa diatur. Setelah aku celingukan hari itu, ternyata Bu Umi kuwalahan mengatur Bayu karena ketika pelajaran berlangsung, dia bermain yoyo. Demam yoyo dia. Aku menjadi berpikir mengapa dia bisa menjadi ketua kelas. Mungkin itu lebih dikarenakan saat itu belum kenal satu sama lain, jadi dapat dengan mudah mengarang nama untuk ditunjuk menjadi ketua. Tetapi kelak, aku mendapat kabar bahwa dia telah menjadi seorang TNI.

Kemudian mengenai Pi’anan dan yang lain, biar kamu tahu lebih lanjut pada hari-hariku selanjutnya.

Kira-kira sekitar pukul 12.30 siang, bubar dari sholat dan makan di kantin, aku dan Rini berjalan kembali ke kelas. Aku ingat hari itu aku masih kelas 10 dan tentu bersikap malu-malu pada senior, terutama pacarku adalah satu sekolah denganku dan dia kakak kelas.

“Ryn!”

“Apa?” kutanya Rini yang memanggilku.

“Ada yang ribut!”

“Mana?” aku mengikuti pandangannya, ikut sadar bahwa siswa-siswi lain berlarian mengerumuni lapangan olahraga yang juga sekaligus sebagai lapangan upacara.

“Ikut samperin?” kutanya Rini. Dia mengangguk, lalu kami bergegas menuju kerumunan.

Bila ingat hari itu, sejujurnya aku kecewa tetapi tidak menyesal. Karena nyatanya, yang menjadi kerumunan siang itu bukan perkelahian, melainkan ulah seorang anak cowok seangkatanku yang dengan sengaja memandikan motor salah seorang guru dengan lumpur basah dari selokan sekolah.

Gila, pikirku. Berani-beraninya.

“Sekarang, maumu apa?!!” Pak Zaenal marah. Iya, motor itu miliknya. Dan dia jugalah Ayah dari pacarku, Irawan, serta menjabat sebagai guru agama Islam di sekolahku.
Aku masih belum memutuskannya semenjak Ayahku menuturkan. Itu adalah keputusan yang sulit. Jika kamu berpikir itu mudah, maka itu urusanmu. Aku tidak ingin dengar.

Anak cowok itu menunduk. “Siapa dia?” kutanya Rini.

“Diksa!” yang menjawab malah anak lain yang bukan Rini, pokoknya bukan Rini, tapi aku lupa namanya dan dia ada di gerombolan juga siang itu.

“Ah, asing.”ujarku.

“Keturunan Jepun dia itu,” lanjutnya. Aku keheranan.

“Jepun apa China?” kutanya lagi karena ragu. Maksudku, anak cowok itu tidak seperti orang Jepang. Matanya sipit seperti orang China.

“Ah. Mana ya?” dia bingung sendiri. Aku terkekeh. “Yang pasti bukan Belanda saja lah.” lanjutnya membuatku geleng-geleng sambil menertawakan.

“China dia itu!” Rini tiba-tiba menyambar. Sontak aku menyipitkan mata seolah menyelidik. Aku pikir Rini mengada-ngada.

“Kamu tahu, Rin?” kutanya dia, kemudian yang ada jawabnya hanya tawa.

“Kalau mengarang mending di kertas ya, Rin! Biar faedah!”

DnA, 1996Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang