Aku baru tahu kalau Pi’anan mengenal Diksa dengan baik. Pantas saja, dalam beberapa waktu tertentu dia terus menanyakan hubunganku dengan Diksa. Di kelas rajin sekali duduk ke depan, meminta Kristina pindah dan dia ingin berbicara denganku, meskipun sedang jam pelajaran sekalipun.
“Waktu SMP, aku sekelas dengan dia,” ceritanya.
“Dia? Diksa?” kutanya.
Dia mengangguk cepat, dua sampai tiga kali. “Tapi sebenarnya kau dengan Diksa itu apa, Ryn?”
“Aku dan dia?”
“Pagi tadi aku dengar anak-anak kelas sebelah cerita kalau kau nonton layar tancap berdua dengannya,”
“Ha???” Aku tertegun. Jelas sekali. Ya, tentu saja.
Aduuuuh, ketahuan.
Dengan tenang, “Siapa yang bicara begitu?” kutanya.
“Anak kelas sebelah, tak begitu kenal,” dia bagai berpikir, “Tapi benar engkau dengan dia?”
Aku diam saja. Berpikir tentang bagaimana baiknya. Lagipula, menyembunyikan kalau aku barusan jalan dengannya juga tidak menghasilkan apapun.
“Iya. Ya, cuma jalan saja,” aku ragu, tapi tetap kujawab.
“Kau percaya dia?”
“Aku tak tahu,”
“Harusnya engkau tahu,”
“Tahu apa?”
“Tahu perasaanmu sendiri. Tapi, ya, kau baru saja putus dengan Irawan,”
Aku mengangguk memahami maksudnya, bahwa pindah hati tidak dapat secepat yang dibayangkan. Meskipun terlihat sederhana, bersama orang baru bisa menjadi bahagia, bisa jadi pula menumbuhkan luka.
Kupandang Pi’anan, sepertinya dia benar. Harusnya, aku tahu perasaanku. Meskipun tidak apa-apa jalan dengan siapa saja, tapi akan menjadi masalah jika aku tak paham diriku sendiri.
Ini masih pukul delapan, dan Pak Kamil, guruku itu, guru matematika, sudah membuat kepalaku cukup pening untuk mengerjakan soal-soal yang beliau tulis di papan. Hari itu kuingat beliau mengajar aljabar. Dan aku tidak terlalu memerhatikan, memilih menyender di kursi dan menatap keluar jendela. Yang ada hanya dua pohon mangga yang tumbuh di antara ruang kelas tujuh dan deret ruangan kelas delapan. Juga, sebuah tandon besar untuk menampung air di sekolah.
Pi'anan, balik ke bangkunya. Tidak tahu apa maksudnya, dia meminta Rini balik duduk di sebelah kananku.
Aku beralih dari dua pohon mangga yang tidak bergerak. Rizal mencubit bahu kiriku, aku menoleh. Dia yang keribo memang suka begitu, sangat jahil.
“Ada apa, Jal?” aku menanyainya bagai tanpa suara.
“Itu!” dia menunjuk ke pojok belakang kelas. “Kau dicari,” katanya.
Wajah seorang putih pucat kutemui. Diksa sedang memandangku dari luar ruangan. Aku menatap matanya mengisyaratkan berkata ‘ada apa?’, dia mengedikkan kepala menginginkan aku keluar.
Diksa nampak bermata sendu. Aku meminta izin pada Pak Kamil dan kutemui dia yang menunggu di lorong depan kelas sebelah.
Dia membawa tas.
“Ada apa?” kutanya dia.
Diksa melepas tasnya yang terlihat sama sekali tidak berat. “Aku titip tas, boleh?” dia menjeda kalimatnya. “Kawanku, Idhang, dia dikejar patroli waktu nebang kayu di hutan dan aku mau menjemputnya. Dia masih sembunyi di perbatasan Cepu Bojonegoro,” jelasnya.
Andaipun aku paham situasinya, aku tidak dapat berkata apa-apa selain mengiyakan kalau memang hanya menitipkan tas padaku. Tetapi lebih dari itu, tiba-tiba cemasku menjadi-jadi.
Patroli di hutan? Engkau tahu itu, kawan? Seram sekali aku membayangkan karena pernah mendengar dari ketika masa kecil orang-orang bisa saja ditembak di tempat kalau saja ketahuan mencuri dan menebang pohon sembarangan oleh polisi hutan.
Si idhang itu, kawannya Diksa itu, aku tak begitu mengenalnya tetapi semoga ia baik-baik saja. Dan Diksa pula, baik-baik saja.
Air mukanya menjadi serius. Aku tidak dapat menebak apa yang ada di dalam pikirannya. Segera dia memberikan tas miliknya padaku. Dia melambai akan pergi lewat gerbang belakang dan sudah ditunggu Wikan dan kawan-kawannya yang lain.
Kudengar setelah kejadian itu, Idhang ternyata tidak melanjutkan sekolah setelah lulus SD. Dia tumbuh di keluarga yang sulit. Rumahnya banyak yang rumpang. Dinding kayunya tidak semua tertutup dan kalau hujan selalu kawatir rumahnya akan roboh. Angin dan air masuk ke dalam membasahi segalanya. Perasaan cemas seakan tidak pernah mau lari dari dalam dirinya. Dia tinggal bersama ibunya yang sakit dan bapaknya tukang numbuk batu kricak. Hingga kini hal paling berharga yang selalu menolongnya adalah persahabatan bersama Diksa, Wikan, serta kawan yang lain.Aku tak dapat membenarkan dan menyalahkan atas pekerjaannya. Tetapi dunianya membawa diri Idhang menjadi tak keruan sudah sejak dia belajar berjalan. Biar punya bapak pun ia tetap sebagai tulang punggung keluarga. Segala yang sulit membuatnya tegar di dalam keterpaksaan. Idhang tak bisa ke mana-mana selain harus pergi ke hutan mencari kayu. Tidak ada yang bisa menerima pemuda lulus SD untuk bekerja di kampungnya. Polisi hutan juga tak pernah salah karena menjalankan patroli dan menangkap siapa saja yang mencuri di hutan. Itu adalah pekerjaannya.
Tiada yang benar-benar salah, tiada yang sepenuhnya benar.
“Aryn!” ada yang memanggilku di lorong.
“Rini? Kok keluar?” kutanya dia.
“Beli gorengan, laper, belom sarapan.” Dia bertingkah semaunya padahal sedang pelajaran matematika. Ya, memang tipikal seperti dia. “Izinnya ke toilet,” dia tertawa.
Aku berjalan menuju kelas bersama Rini. “Tas siapa?” tanyanya.
“Diksa,”
Dia mendadak berhenti dari jalannya. “Kau jadi sama dia?” Rini menatap mataku intens.
Aku ikut berhenti pula. Menggeleng ragu tapi tak mengangguk juga. Aku sendiri pun tak tahu aku dan dia itu apa.
“Tapi kau mau dititip tas begitu?”
“Aku hanya mau membantunya,”
“Kau jatuh cinta dengannya?”
Aku diam.
“Ya, tak apa. Dia juga tampan,” komentarnya.
“Kau tuh yang jatuh cinta dengannya,” aku menuduhnya dan tertawa.
“Perkara tampan siapa yang tak mau, Ryn?” dia tertawa pula dan lanjut berjalan.
🌱