Diksa Pradhipta, lelaki berkulit putih yang manis itu sekarang menjadi kepemilikan seorang Aryn. Ya, aku. Sudah dua minggu sejak ia memastikan perasaan di pulang ke rumah petang itu. Dia sering ke rumah. Waktu itu, minggu pukul 10 pagi, sempat mengajak Wikan yang bersama Maya juga, pacar Wikan. Dia datang bertiga menggunakan mobil Honda Civic Ferio-nya yang berwarna merah gelap. Baru sekali ini aku melihatnya datang ke rumah menggunakan mobil.
Dan, Diksa itu, senang sekali berbincang dengan Ayah menyoal barang-barang unik yang ada di rumah. Wikan pula begitu. Mereka semua menelusuri rumah dan Ayah antusias menceritakan barang-barang kesukaannya tersebut. Mulai dari barang-barang yang memang lama sampai meubel-meubel terbaru yang dibelinya.
“Yah, ini lemari yang Ayah beli di Bang Minar ketika itu?” Tanya Diksa, dia memang sejak awal sudah memanggil ayahku dengan sebutan Ayah. Dan Ayah pun tak keberatan dengan itu, bahkan Wikan dan Maya ikut memanggilnya demikian.
“Oh, iya,” jawab Ayah antusias.
Mereka sedang ada di dapur. Lemari yang Ayah beli merupakan lemari kecil dengan banyak laci dan merupakan lemari dan termasuk meja hias pula. Harusnya, lemari itu ada di ruang tamu, tetapi karena rumah sudah penuh dengan meubel yang Ayah koleksi, jadi ia taruh lemari itu di dapur dulu.
Ayah mulai berbicara. “Lemari itu bentuknya seperti vas, kau lihat itu!” ia menjeda. “Ayah suka warnanya dan desainnya yang ramping. Engkau yang merempelas, kan?” Ayah menoleh kepada Diksa.
“Ya. Tapi, warna kayunya yang asli juga sudah bagus, Yah. Jadi meskipun tidak dipolitur, warnanya sudah nampak sangat cokelat kemerahan,” Diksa menjelaskan.
“Kalau yang ini dapatnya dari mana, Yah?” Maya ikut antusias pula, menanyai Ayah tentang radio cantik yang ditaruh di atas kayu yang menempel di dinding dapur. Luarnya berwarna hijau tosca sedang di dalamnya tergabung warna nila yang samar. Radio itu benar-benar cantik, aku pun menyukainya.
Ayah tersenyum. “Itu radio kuno klasik. Ayah beli tiga tahunan yang lalu. Kayunya kayu jati belanda,” jelas Ayah.
“Masih bisa kah, Yah?” Wikan penasaran.
“Oh! Bisa!” Ayah menurunkan radio tersebut.
Mereka semua nampak menikmati pagi itu, duduk di antara meja makan di dapur. Ayah memeriksa baterainya, siapa tahu sudah usang. Dan benar saja, digantinya dengan yang baru sebab Ayah tak memakai radio tersebut untuk diputar setiap hari. Ada radio tersendiri untuk itu.
Kedua baterai sudah diganti. Begitu radio nyala, Diksa dan yang lain ber-wah, seolah baru sekali itu mendengar radio. Antusias mereka menyerupai anak kecil yang sedang ingin tahu ingin tahunya.“Kawan-kawan, Ayah, makan dulu,” aku mendekati mereka sambil membawa sepiring ketela rebus dan ote-ote khas Bojonegoro begitu sekalian beberapa cabai hijau di atasnya.
“Uwah! Repot-repot, Ryn!” Wikan berbasa-basi, padahal dia yang memakan duluan. Aku tertawa untuknya.
“Ayo, mari makan dulu, nak!” Ayah mengecilkan volume radionya, mempersilakan kawan-kawan untuk menikmati yang sudah disediakan di meja. Kawan-kawan menunduk, mengiyakan.
Sambil mengambil satu ketela rebus, Diksa memperhatikanku, “Engkau memasak semua ini sendiri?” tanyanya. Begitu usai, dia kunyah ketela yang lembut itu di mulutnya.
“Ya, sebab Ibu sedang ada arisan di rumah Bu Eka,” aku menjelaskan.
Diksa mengangguk-angguk, “enak,” ujarnya.“Kau pintar memasak, ya, Ryn?” Maya bertanya.
Sekarang, aku ikut duduk bersama mereka, di samping Diksa, berhadapan dengan Wikan yang berada di sanding Maya pula. Ayah berlalu sebab sepertinya ada yang mencari dari depan. Dan radio cantik ini bersama kami.
Kami memutar Metro FM, 88.5 MHz. Acaranya sedang diputar lagu-lagu pop pada zamannya. Kami mendengarkan lagu-lagu tersebut sambil makan ketela rebus dan ote-ote. Aku senang karena Wikan dan Maya nampak menikmatinya. Kalau Diksa, sih, tentu saja.
Begitu kami berbincang dan tertawa di dapur, Ayah memanggilku dengan panik dari rumah depan. Aku tersentak dan Diksa mematikan radio dengan segera. Wikan dan Maya ikut menghentikan makannya, kami bergegas keluar terutama aku. Kami semua bertanya-tanya ada apa.Di teras aku temui Ayah nampak sangat syok dan kedapati wajah Bu Eka panik.
“Ayah, kenapa, Yah?” kutanya Ayah yang tiba-tiba terdiam dan memegang dada kirinya seolah nyeri. Kurangkul ia begitu melihatnya demikian.
“Aryn,” panggil Bu Eka. Diksa ikut menopang Ayahku yang mendadak melemah.
Aku segera merespon Bu Eka, menoleh ke arahnya.
“Ibumu terkena jantung lemah, sekarang dibawa ke rumah sakit sama rekan-rekan arisan yang lain,” Bu Eka menjelaskan, dan aku langsung membayangkan keadaan Ibu. Jelas saja Ayah langsung syok.
Aku pun panik tanpa sengaja. Wikan dan Maya diam, mencoba mencerna keadaan, sedang Diksa menopang Ayahku untuk duduk di kursi teras. Padahal, baru beberapa waktu lalu kami bahagia menceritakan radio dan barang-barang milik Ayah yang lain.
Diksa menggenggam tanganku yang menjadi dingin. “Kita susul Ibu, ya?” ajak Diksa. Dan aku mengangguk tanpa berkata-kata. “Bu Eka tolong beritahu alamatnya biar kami menyusul,” pinta Diksa dan Bu Eka paham.
Diksa segera membantu Ayah bergegas ke dalam mobil, diikuti aku dan bu Eka yang duduk di belakang. Sedang Wikan dan Maya tak bisa ikut sebab nanti mobil Diksa tak muat. Mereka bilang akan dijemput oleh kawan-kawan lain. Mungkin Nehan atau siapa saja yang bisa.
Mereka berharap kami hati-hati dan Ibu akan segera membaik. Dan, ya, terima kasih Wikan dan Maya. Begitu sudah, Diksa melaju dengan kecepatan yang cukup sebab Ayah pasti sudah sangat cemas. Pikiranku pun tak beralih dari bagaimana keadaan Ibu sekarang.
Pada saat itu, di rumah sakit umum daerah kutemui beberapa ibu-ibu menjaga Ibu ku yang sedang di dalam ruangan berisi beberapa pasien dan bersekat kelambu. Terima kasih atas segala yang sudah. Ayah pun selalu berada di samping Ibu dan aku di sampingnya, dan Diksa pula tak ke mana-mana. Begitu kami sampai, ibu-ibu yang membawa Ibu ku ke sini mulai berpamit pulang dan kami tak akan melupakan apa yang beliau beri detik itu. Sebuah perhatian yang luar biasa.
Ibu dirawat beberapa hari dan Diksa selalu mengantarku ke sana begitu kami pulang sekolah. Usai Ibu dibawa pulang pun, Diksa selalu menemani di rumah. Mungkin dia paham bahwa aku seketika benar-benar menjadi sendirian sebab Ayah akhirnya jatuh sakit karena syok, berhari-hari demam dan tidak masuk kerja, sedang Ibu harus istirahat total sehingga aku menjadi sangat sibuk dan harus mengerjakan pekerjaan rumah seorang diri.
🦛
