Kata-kata Ayah membuatku terancam oleh karena banyak hal. Menurutku itu sesuatu yang menyedihkan, tetapi tidak dapat kutentang dengan alasan apapun. Dan entah bagaimana, beberapa minggu setelahnya aku langsung putus dengan Kak Irawan. Ini bukan hanya karena Ayahku melarang, tetapi lebih dikarenakan orang tua Kak Irawan juga tidak menyukai hubunganku dengannya entah karena apa. Aku tidak terlalu ambil pusing mengenai hal itu. Bukannya sok tegar, tetapi aku pikir tidak terlalu bersedih adalah hal yang paling bijaksana untuk kulakukan pada hari itu. Walaupun pada harinya, hari di mana aku bilang harus putus dengan Kak Irawan, dia terkejut bukan main.
“Ada apa, Aryn? Kenapa?” tanyanya bagai tak menyangka aku akan mengatakan putus.
Aku diam.
Tidak mungkin aku mengatakan bahwa Ayahku menentang hubunganku dengannya. Jadi aku memilih alasan yang menurutku pada hari itu sudah terasa benar.
“Mau fokus olimpiade dulu, Kak,” ucapku, yang sebenarnya terdengar konyol. Tetapi hari itu aku benar-benar mau olimpiade matematika, jadi dia percaya.
Kak Irawan diam. Lalu katanya, “Iya.”
Dia baik, mau mengertiku walau aku rewel sedemikian rupa. Itu menjadikan aku bertanya-tanya mengapa Ayah tidak setuju kalau aku bersama Kak Irawan, padahal dia begitu mengayomi. Semoga kelak, dia mendapat seseorang yang lebih baik dibanding aku. Tetapi ketika hari berlalu, aku mengetahui tentang alasan Ayah yang tidak setuju kalau aku dengan Kak Irawan. Yaitu karena orang tua kami memiliki sedikit permasalahn yang tidak harus aku ceritakan.
Jujur. Setelah hari itu, aku menjadi tidak begitu bersemangat. Dan, setiap malam, aku hanya menjadi sering menghabiskan waktuku membaca majalah. Yang di sana, terdapat banyak model-model di majalah cowok tahun 90an yang biasa kubeli seperti Primus Yustisio, Marcelino Lefrandt, atau kadang Atalarik Syah yang walau mereka tampan, tidak mampu mengalihkan perhatianku dari rasa sedih oleh karena putus cinta. Itu normal. Doaku, aku harus mampu menyikapi kejadian yang ada dengan baik.
Di sela aku membalik halaman majalah, Ibu mengetuk pintu kamarku dan kemudian masuk hanya kepalanya saja yang dijulurkan untuk sekadar mengintip apa yang kulakukan.
“Ada tamu,” ujarnya
“Malam-malam begini?” kutanya karena ragu mengingat jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam.
“Iya. Temui! Nyari Aryn katanya.”
Aku menjadi penasaran tentang siapa yang datang, jadi segera kutemui dibanding membendung lama-lama rasa ingin tahu. Tetapi setelah aku ada di ruang tamu, aku benar-benar terkejut mengenai siapa yang datang.
“Hai!” sapanya.
Aku memandangnya canggung. Tentu saja. Dan kamu harus maklum karena yang datang adalah orang yang tidak pernah berbicara denganku sebelumnya, bahkan menyapa, atau sekadar saling melihat. Tidak pernah, sama sekali. Lalu sekarang, dia datang ke rumahku, untuk apa?
“Ayahmu mana?” dia bertanya. Aku segera mengintip ke ruang tengah karena biasanya Ayahku di sana dan memang benar.
“Di rumah,” kujawab. “Duduklah!” aku mempersilakannya duduk kemudian dia menurut tanpa protes.”Ada apa?”
“Aku mau izin pinjam halaman samping rumahmu yang luas, untuk dibuat main bola sama kawan yang lain.” terangnya.
“Oh, bentar.” aku langsung memanggil Ayah di ruang tengah. Biar dia yang memberi izin karena aku tidak mau menjadi anak yang lancang. Kemudian yang ada selanjutnya adalah mereka berbicara sambil minum teh yang kubuat.
“Makasih, Pak!” dia pamit setelah lama berbicara.
Ayahku mengangguk, lalu memintaku mengantar anak itu sampai teras demi santun pada tamu.
