Toko bangunan milik ayah Diksa berada tepat di samping toko meubel milik pamannya, Bang Minar. Diksa sedang berada di sana, Toko Meubel Minar Jaya, pinggir jalan tepat di pasar kecamatan.
Sulit untuk menjelaskan, tapi aku sedang berada di sana, di toko meubel milik Bang Minar. Ya, Ayahku ada di sana. Dan, kau masih ingat aku, kan? Pembaca. Ya, aku Aryn.
“Kalau lemari hias yang kaca beningnya nampak depan dan samping seperti ini berapa kau jual, bang?” Tanya Ayahku pada bang Minar, sedang aku melihat-lihat sekeliling dan menemukan Diksa yang terlihat merempelas sebuah meja yang baru jadi.
“Satu juta dua ratus, Pak. Kayunya merah, bagus, jarang dijual harga segini.” Bang Minar mengambil sebuah kertas bertuliskan daftar harga barang-barang yang ada di tokonya, biar ayahku memilah sendiri.
Ketika ayah menerima kertas itu, aku ikut melihat. Duduk aku bersama Ayah di depan toko, ditemani satu teh hangat dan kopi yang ada di depan Ayah.
Memang selalu begitu. Kalau aku dan Ayahku pergi ke sini, bang Minar selalu memberi kami teh hangat dan kopi, biar Ayah tidak jadi beli sekalipun. Mereka orang-orang yang baik.
Oh, ya. Mungkin kamu bertanya-tanya tentang mengapa aku ikut berada di sini.
Akan kujelaskan mengenai isi tas ku dan kau akan paham. Aku diantar oleh ayahku pergi ke pasar. Katanya, sekalian lihat-lihat lemari. Iya memang, ayahku sudah sejak kemarin membicarakan ingin beli lemari hias model terbaru bersama ibu. Kalau kamu penasaran dengan apa kami pergi ke pasar, aku dibonceng oleh Ayah memakai sepeda tua berwarna hijau yang juga tua, agak tinggi, dan itu menjadi barang yang sangat berharga bagi Ayah. Kamu tahu Ayahku menyukai barang-barang lama, kan? Dan biarpun ada motor di rumah, sepeda onthel ini benar-benar yang terbaik baginya.
Ini bagian isi tasku. Aku usai berkeliling pasar dan di dalam tas jinjing berwarna merah kecokelatan itu aku membawa tiga ikat kangkung segar, beberapa cikalan (adalah kelapa yang sudah diiris dan siap untuk diparut, bahan untuk membuat santan), terong getas, cabai, bawang merah, bawang putih, dan segala yang mampu dimasak.
“Yah, Aryn ke sana, ya?” aku meminta izin Ayah untuk pergi melihat Diksa, aku penasaran dengan pekerjaannya.
Ayah mengangguk, kemudian sibuk dia mengamati harga-harga lemari itu lagi.Beralih sendiri aku dari kursi di samping Ayah, berjalan mendekati Diksa tanpa melupakan tas jinjing merah kecoklatan di tanganku.
“Hei..” Diksa langsung menyapaku, tapi sambil terus fokus pada apa yang dia kerjakan.
Aku tersenyum padanya, dan menaruh tas di kursi lalu mengamatinya yang kemudian dia bertanya padaku, “Sedang apa di sini?”
“Ikut Ayah,” jawabku seraya mengarahkan pandangku menuju Ayah yang berbicara dengan Bang Minar. Dia paham, dan masih merempelas meja.
“Ini sudah hari minggu,” ujar Diksa. Berhenti sejenak kemudian katanya, “Kamu membaca suratku?” akhirnya dia berdiri, meninggalkan mejanya yang sudah hampir selesai.
Tentu saja aku sudah membacanya. Aku mengangguk, dan membuatnya tersenyum seketika itu juga.
“Jadi, mau jalan denganku nanti malam?”
Sebetulnya, aku selalu ragu dengan Diksa. Mau bagaimanapun dia mengemas perasaannya untukku, rasanya sulit untuk langsung percaya padanya. Dan tentu saja demikian.
Dia menatapku yang bagai berpikir, yang sepertinya dia sambil membaca pikiranku. “Kamu tidak suka layar tancap?” tanyanya.
Baiklah, bukan itu maksudku, Diksa..
“Kalau kamu tidak suka, bisa kuajak ke tempat lain, kan?” dia mencoba membuat pilihan.
“Aku suka layar tancap,” akhirnya kujawab, dan dia nampak girang dari wajahnya.
“Jadi, kamu mau?”
Aku mengangguk ragu, tapi tetap kuiyakan. Dia mendekat ke arahku, “jam tujuh malam, ya,” tuturnya sambil mengacungkan jari-jarinya sebanyak tujuh. Tiba-tiba aku tertawa melihatnya.
“Kamu itu buat apa?” kutanya dia.
Baik. Ini adalah kali pertama bagiku ingin tahu apa yang dia lakukan, dan mengutarakan keingintahuanku itu di depannya. Dan memang aslinya, aku bukan manusia yang mampu berbicara secara gamblang layaknya orang-orang. Tetapi entah mengapa, di depan Diksa seperti mudah untuk menjadi apa adanya.
Lalu kemudian, belum juga dia menjawab, dia mengajakku ke kumpulan meja yang sudah jadi. Kami jongkok, mengamati kilauan plitur cokelat keemasan yang mempercantik meja, kursi, lemari yang ada di Toko Minar Jaya.
“Aku merempelas meja, setelah itu diplitur biar jadi seperti ini. Biar tidak di makan rayap,” dia menjelaskan, sambil ditunjukannya aku hasil kerjanya di toko Bang Minar. Dia benar-benar berbakat.
Aku mengangguk paham. Entah mengapa bagiku, aku senang mendengarkannya bercerita, menceritaiku, dan berbagi apa yang dia tahu kepadaku. Mengapa dengannya mendadak seperti teman lama yang sudah sangat akrab satu sama lain?
Kami berbicara banyak, dia bahkan memperkenalkanku pada seorang pekerja lainnya di Toko Minar Jaya. “Dhang, sini!” panggil Diksa pada salah seorang kawannya. Dan dia mendekat. Juga nampak sopan dan murah senyum. Tinggi dan berkulit cokelat. Mengenakan topi abu-abu. Dan, dia seperti seusia kami.
“Kenalkan, Aryn.” Dia memperkenalkanku pada Idhang. Kami bersalaman. “Kawan sekolah.” Dia lalu menjelaskan, sebelum Idhang bertanya lebih lanjut.
Perkenalan kami sebatas itu. Idhang pamit pergi karena dipanggil oleh Bang Minar. Yang sedang kemudian aku menjadi hanya bersama Diksa, lagi.
Mendadak aku gugup bersamanya.
📭
