K

4 0 0
                                    

Engkau ingat, pembaca? Kabar yang dari Pi’anan beberapa waktu lalu tentang salah seorang kawan dari kelas lain melihatku jalan dengan Diksa di minggu malam, itu sudah sampai pada Kak Irawan yang kini pukul empat sore usai jam pelajaran memintaku bertemu. Sedang, Diksa berkata padaku dia akan main futsal di lapangan dengan kawan-kawannya selagi menungguku usai. Dilema yang tak seharusnya. Terlebih, siang tadi Diksa pula lah yang  mengantarku ke sekolah usai ia pulang sebab jadwal kami tak sama.

“Kak!” Kristina dan Nunuk yang keluar kelas bersamaku menyapa Kak Irawan yang sudah menunggu di depan kelas. Mereka berlalu, sedang aku menemuinya.

Kak Irawan tak mengajak ke tempat lain karena kukira dia ingin berbicara cukup serius, tetapi dia membicarakan tentang Diksa di sini saja, di depan kelasku sahaja.

“Kau sekarang bersama Diksa?” tanyanya  tak basa-basi.

Aku diam sebentar, sedang mencerna situasi. Apakah dia marah? Apakah dia cemburu? Apakah dia kesal dengan keadaan ini?

“Aku bukan dengannya,”

“Lalu? Engkau diantarnya siang tadi, engkau jalan dengannya kemarin minggu?” Kak Irawan nampak kesal.

“Ya, tapi aku bukan dengannya,”

“Lalu apa jadinya?”

“Aku tidak ada apa-apa dengannya,”

“Lalu apa jadi aku menyebutnya? Engkau baru saja memutuskan hubungan denganku dan engkau bersama yang lain begitu sehari setelah putus.” Aku tahu Kak Irawan curiga atas banyak hal yang sudah terjadi. “Engkau memang sudah bersamanya?”

“Tidak! Aku bahkan tidak mengenalnya.” Aku menyangkal, karena memang yang sebenarnya adalah demikian.

“Maksud mu?” dia menuntut jawaban.

Atmosfer tak menyenangkan mulai mengelilingiku. Sekali pun aku menjelaskan, ia tak akan benar-benar paham situasinya. Aku menatapnya, mencoba meyakinkan bahwa aku tak berniat pergi darinya untuk kepada yang lain. Tidak, sama sekali tidak. Sebab apa yang terjadi padaku akhir-akhir ini pun adalah yang tak aku duga.

“Benar aku dengannya di hari minggu lalu,” jawabku pelan. “Tapi aku tak pernah berniat pergi dari mu sebab siapa-siapa. Tidak ada yang lain. Dia kepadaku juga baru beberapa waktu lalu. Aku tak mengenalnya, aku tak tahu dia siapa, aku tak tahu asal usulnya,” jelasku panjang lebar dan dia diam.

“Maaf menuduh mu,”

“Tidak,” jawabku cepat berusaha menutupi rasa bersalahnya karena mendadak memarahiku. “Engkau boleh berpikir apa saja atas diriku.”

Dia diam. Aku diam. Dan di selanya aku mendengar seretan sepatu yang berjalan di koridor yang kemudian hening kembali. Langkah itu berhenti. Berhenti di yang tak jauh dari aku dan Kak Irawan berdiri. Berhenti menatap aku dengan sorot matanya yang bertanya-tanya dan sejurus kemudian paham, paham akan situasinya. Ia berhenti dalam tegak yang mengamati.

Aku menatapnya yang jauh. Kira-kira, apa yang sedang ia pikirkan? Apa yang sedang ia pertanyakan? Hening ini menyudutkanku. Perbincangan dengan kak Irawan sengaja tak kuteruskan.

“Itu, dia, Diksa,” kata kak Irawan padaku, pelan.

Aku menanggapinya dengan secuil senyum tak bermakna. Canggung sudah. Sungguh amat riuh pikiranku dihadapkan dengan situasi semacam ini. Dan, kak Irawan berlalu, melawan arah dari keberadaanku dengan Diksa. Dia marah atas keadaan.

Pada saat itu Diksa juga tak mengungkap sepatah kata pun, cukup mengedikkan kepalanya ke arah parkiran yang mengisyaratkan dia akan menunggu di sana, dan kemudian berlalu tanpa aku. Beberapa menit lamanya, aku termenung sendiri. Sehabisnya kemudian aku berjalan menuju Diksa yang sudah menunggu ku pulang. Dia sedang bersama kawan-kawannya, usai bermain futsal. Seragamnya lusuh seperti biasa.

DnA, 1996Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang