Tanpa menunggu bel istirahat berbunyi, aku, Rizal dan yang lain menuju ke kantin. Jam kosong atau tidak pun, aku rasa seluruh anak sekolah selalu merasa ingin keluar dari kelas entah dengan alasan apapun. Begitu juga aku dan kawan yang lain.
Begitu sampai di kantin, Rini dan Kristina segera memesan es teh dan duduk di meja kantin paling sudut. Mereka memang selalu kompak. Nunuk pun sama, segera menyusul. Aku dengan diriku yang tidak segesit mereka ketika mendapat makan gratis, masih bingung memilah jajanan kantin yang hari demi hari tak kunjung berganti, itu-itu saja dan membosankan. Namun kelak, jajanan itu membuatku rindu.
Rizal dan Pi’anan menyusul mereka yang sudah duduk, kemudian aku, yang baru saja berhasil memesan pecel dari Bu Kantin tengah yang sangat ramai –padahal belum jam istirahat-. Aku menjadi sangat yakin, mereka adalah murid-murid yang rajin membolos.
Semua sudah duduk. Kawan-kawan mulai bercerita tentang apapun yang dianggapnya perlu untuk diceritakan, sedang aku bertugas menjadi pendengar yang baik. Setidaknya untuk menghargai antusiasme mereka, walau kadang cerita mereka terdengar sama sekali tidak menyenangkan, terutama Pi’anan. Yang kadang, akan bercerita mengenai penyesalannya mendapat nilai 30 ketika ulangan Harian Bahasa Indonesia. Padahal, ulangan hari itu hanya di minta membuat karangan berupa puisi. Dan nilai 30 itu berasal dari puisinya yang sama sekali tidak sesuai ketentuan dan syarat membuat puisi. Berantakan dan sama sekali tidak estetik. Dan Pi'anan, aku menjadi tahu dia. Dia adalah orang yang tidak bisa membuat puisi.
Murid-murid lain semakin berdatangan, tetapi tetap pada hari itu, bumi tidak seramai pada era kamu membaca ini. Paling tidak, dapat kamu bayangkan ramainya kantin tahun 1996. Memang pasti ada yang bicara keras-keras sambil nongkrong, ada yang pesan makannya terdengar sangat ribet dan merepotkan, ada yang sok menguasai kantin sehingga harus dia dulu yang dilayani dengan alasan dia anak seorang guru. Tetapi, yang dapat kupastikan, udara kantin hari itu tak seberpolusi sekarang. Masih menimbulkan efek dingin di pangkal hidung ketika dihirup. Dan sekarang, aku, menjadi rindu keadaan bumi pada hari itu.
Pada era kamu membaca ini, bagiku, sekarang adalah hari-hari ketika melihat langit menjadi rindu, menonton bioskop adalah rindu, melihat motor RX-Spesial yang sekarang sudah tidak lagi diproduksi adalah rindu. Pun lagi, melihat jalan raya yang dulu sering kulewati ketika sekolah, adalah rindu yang paling berat.
Ketika aku rasai sudah kenyang, aku menghentikan makanku dan minum es teh seperti yang lain.
“Nanti ayo ke Bu Imung!?” mendadak Rini mengajak dengan nadanya yang sedikit bertanya, bersamaan dengan diputarnya lagu You Must Love Me dari Madonna oleh bapak kantin.
Aku menoleh ke arah Rini, begitupun yang lain. “Ngapain?” tanyaku.
“Beli sepatu La Gear Light.”
“Hah?” aku heran. Rizal hampir tertawa.
“Bukan buat aku!” rupanya Rini menyadari situasi, bahwa kami semua mengira dia menginginkan sepatu itu. “Tadi malem adek minta sambil nangis, nggak tega. Pengen temen-temennya.” terangnya.
La Gear Light adalah sepatu hits pada masa itu. Yang mana di sepatu itu ada lampu yang bisa menyala. Unik dan tentu menarik perhatian.
Juga, Bu Imung adalah pemilik toko serba ada di daerah dekat sekolahku masa itu. Kalau kamu ingin mencari sepatu La Gear Ligh, sepatu Reebok PUMP, di sana ada, mencari binder, pensil, buku bergambar, stiker-stiker yang terkenal bada zamannya, GIMBOT, TAMIYA, atau bahkan permen YOSAN, semua ada. Dan di sanalah, surga bagi para remaja yang hobi shopping.
“Yang mau ikut?” Rini menawari.
Kristina, Nunuk, dan Pi’anan segera mengajukan diri, sedangkan Rizal katanya ada perlu dengan saudaranya.
“Kau?” tanya Rini menunjukku, membuatku bagai berpikir.
"Hey!"
Sebelum aku menjawab, seseorang tiba-tiba menyapa.
"Oh?" Aku terkejut. Bukan karena dia mengagetkanku, tetapi lebih kepada siapa yang menyapa. "Kamu?"
Dia tersenyum. "Nanti aku mampir ya?"
Ekspresiku bagai bingung, tentu saja. Aku mencoba mencerna apa yang sedang cowok itu bicarakan. Iya, dia Diksa.
"Ke mana?" kutanya balik karena aku harus mendapat keterangan lebih jelas.
"Ke rumahmu," Diksa tersenyum. "Main bola."
"Oh." aku mengangguk.
"Siapin minum ya! Nanti kalo aku lelah." ujarnya bagai sudah menjadi temanku begitu lama. Sikapnya membuatku betul-betul heran. Dan aku menjadi yakin, teman-temanku pasti mengira aku sedang dekat dengan cowok itu. Padahal tidak sama sekali.
Diksa tersenyum ramah. Sangat bersahabat. Dan dia seperti orang yang mudah akrab dengan siapapun, walau terkadang tampangnya nampak cuek.
Ah. Aku menjadi tidak mampu mengiranya.
"Bawa minum sendiri lah." ucapku merasa tidak ingin disuruh.
"Ha ha ha!"
Hei, dia tertawa???
"Ya sudah. Nanti aku minta minum Ibumu." dia masih sedikit tertawa. "Jumpa nanti sore, Aryn!" kemudian dia berlalu tanpa aku tahu niatan macam apa yang ada di dalam otaknya.
Demi apapun, dia pun juga terasa bagai telah mengenal orang tuaku sejak lama. Padahal aku yakin, dia bukan siapa-siapaku. Bukan saudaraku.
"Ryn! Diksa?" Rini menyenggol lenganku dengan ekspresi keheranan setelah Diksa sudah tidak lagi di tempat kami.
Aku mengedikkan bahu.
"Waw!" Rini berwaw. Aku hanya membalas senyum aneh ke arahnya, ikut heran.
"Kenapa?" kutanya.
"Kau putus dengan Irawan gara-gara Diksa?" Pi'anan bertanya menyelidik.
"Heh! Nggak lah!"
"Terus?" kini Nunuk mulai ikut menggali informasi.
"Terus apa?"
"Kau? Dengan Diksa?"
"Aku nggak kenal dia."
Rini mengetnyit. "Mana percaya!"
"Aku mana bohong?"
"Tapi Ryn," Kristina juga jadi ikut berdalih. Aku menoleh kearahnya, begitupun yang lain.
Ngomong-ngomong, Rizal tidak ikut menanyakan tentang Diksa karena dia sibuk dengan ibu kantin, membayar total traktirannya pada kami. Ah, teman yang baik.
"Tapi apa?"
"Diksa," lanjut Kristina.
"Kenapa?"
"Kayak bukan anak yang baik-baik." terangnya.
Rini mengernyit, "Gimana tahu?"
Kristina bagai berpikir. "Kira-kira sih."
Aku menghela napas untuk dalih Kristina yang aku tahu itu hanya hasil karangannya saja.
"Aku sering lihat dia boncengin kakak kelas cewek." Kristina bercerita lagi.
"Ya sudah." aku meminum sisa es tehku yang masih dapat aku minum. "Kan, bukan urusan kita."
"Urusanmu, mungkin." ujar Nunuk.
Aku menatapnya menyelidik, "Aku?"
Nunuk hanya mengangkat dua bahunya cepat dan tersenyum.
"Tapi dia tampan. Nggak apa-apa, Ryn." Kristina berujar lagi.
Aku menggeleng dan menatap Kristina aneh.
Tidak. Aku menjadi tahu apa yang dipikirkan oleh teman-temanku ini.
Gila. Diksa? Aku tidak mengenalnya dan tidak ingin dia dekat denganku.
🔭
